Selasa, 22 Juli 2008

Mengenal Badai Tropis

Oleh: Joseph Viandrito
(dari berbagai sumber)

Tahun ini kita menyaksikan banyak korban berjatuhan akibat bencana topan badai. Pemerintah Burma menyatakan, lebih dari 10.000 orang tewas akibat angin topan badai yang menghantam Birma bulan Mei 2008 lalu. Di bulan Juni lalu, Topan Badai Fengshen juga melanda Filipina selatan dan menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor.

Gelombang laut tinggi disertai angin berkecepatan tinggi juga sering menerpa wilayah Indonesia, khususnya di Nias and Mentawai, lokasi kegiatan Program Siaga Bencana SAI. Melalui artikel ini kita ingin menyampaikan informasi tentang topan badai dan bagaimana kita dapat menghadapinya.

Topan Badai Tropis atau umumnya disebut Siklon Tropis adalah fenomena alam berupa pusaran angin, hujan dan badai petir dalam suatu daerah tertutup. Siklon tropis hanya dapat tumbuh dan berkembang di atas wilayah perairan tropis dan sub tropis yang hangat dengan kelembaban udara tinggi. Di seluruh dunia terdapat sejumlah wilayah–wilayah perairan tempat tumbuh dan berkembangnya siklon tropis dengan pola musiman yang khas di setiap wilayah.
Walaupun merupakan fenomena yang tumbuh di lautan, pergerakan siklon tropis dapat mengarah ke daratan sehingga dapat menimbulkan bencana serius dengan kerugian material dan korban manusia yang besar. Dengan mengetahui pergerakan badai tropis serta memahami dampak yang bisa ditimbulkannya, maka kita dapat melakukan upaya antisipasi untuk mencegah kerugian lebih besar.

Badai Tropis merupakan pusaran angin tertutup pada suatu wilayah bertekanan udara rendah. Kekuatan angin yang terjadi pada Badai Tropis dapat mencapai kecepatan lebih dari 128 km/jam dengan jangkauan lebih dari 200 Km dan berlangsung selama beberapa hari hingga lebih dari satu minggu.
Siklon Tropis merupakan istilah yang bersifat umum, selanjutnya menurut tingkat kematangan formasi bentuk dan kekuatannya siklon tropis dapat diklasifikasikan atas:

1. Depresi Tropis (Tropical Depression)
Pada depresi tropis sudah terjadi sistem tekanan rendah yang menyebabkan lingkaran awan dan badai petir pada suatu daerah tertutup namun belum terlihat bentuk spiral dan mata. Kecepatan angin berkisar dari 17 hingga 33 knot. Pada depressi tropis tidak diberikan nama yang khas

2. Badai Tropis (Tropical Storm)
Pada badai tropis mulai terlihat bentuk spiral, namun tidak terlihat adanya mata. Kecepatan angin maksimum berkisar dari 17 hingga 33 meter per detik ( 34 s/d 63 knot, 39 s/d 73 mph atau 62 s/d 117 km/jam). Untuk Badai Tropis diberikan nama-nama yang khas untuk membedakan antara setiap kejadian badai tropis.

3. Badai Hurricane
Pada badai Hurricane terlihat jelas bentuk spiral dan terlihat adanya mata. Kecepatan angin bisa mencapai lebih dari 69 meter per detik. Dampak kerugian yang diakibatkan oleh Hurricane sangat fantastis, meliputi wilayah kejadian (seperti daerah permukiman atau lautan terbuka) serta sanggup memicu bencana alam susulan seperti banjir atau longsor, serta merenggut banyak kerugian dan korban manusia.

Dalam satu tahun dapat terjadi beberapa kali badai tropis dalam suatu wilayah. Untuk membedakan antara setiap kejadian badai tropis serta memudahkan komunikasi seperti memberi peringatan pada masyarakat akan bahaya badai tropis yang akan datang, maka diberikan nama-nama pada badai tropis.

Aturan penamaan mengikuti urutan abjad dan dirunut dari waktu kejadiannya. Badai tropis atau Hurricane yang pertama terjadi pada suatu tahun atau periode pengamatan akan diberi nama yang dimulai dengan huruf “A” misal “Anna”, untuk badai tropis kedua dinamai dengan huruf awal “B” seperti “Beth” , dan seterusnya.

Setiap wilayah perairan menggunakan daftar nama yang berbeda. Aturan penamaan dimulai pada masa perang dunia ke dua dengan mengambil nama-nama khas perempuan, namun sejak tahun 1978 nama khas pria mulai masuk dalam daftar nama.
Pada setiap akhir tahun daftar nama akan ditinjau ulang , nama-nama dari badai tropis yang telah menimbulkan banyak kerusakan dan korban manusia pada tahun tersebut akan dihapuskan dan diganti dengan nama yang lain. Hal ini berguna untuk keperluan mencatat kedahsyatan peristiwa badai tropis atau Hurricane tersebut dan membedakannya dari badai tropis biasa.

Pada satu tahun di seluruh dunia terdapat rata-rata 80 kali peristiwa siklon tropis. Hampir seluruh siklon tropis tumbuh dan berkembang pada wilayah perairan di zona 30 derajat dari katulistiwa, yang disebut Zona Konvergensi Antara Tropis (ITCZ Intertropical Convergence Zone). Zona ini merupakan tempat terkumpulnya awan-awan hujan yang deras dan berhari-hari serta menimbulkan angin kencang.

Terjadinya Badai Tropis

Syarat utama untuk dapat tumbuh dan berkembangnya siklon tropis adalah kelembaban udara yang tinggi karena banyaknya kandungan uap air. Syarat tersebut dapat dipenuhi oleh daerah perairan ( lautan) di zona tropis dan subtropis yang temperaturnya dapat mencapai > 260 C.

Puncak aktifitas siklon tropis di seluruh dunia, terjadi pada akhir musim panas yakni ketika laut mencapai temperatur paling hangat. Namun di setiap wilayah terdapat pola musiman yang berbeda. Sumber utama energi raksasa penggerak badai tropis berasal dari proses kondensasi yakni yakni mengembunnya kandungan uap air pada udara lembab yang bergerak naik ke ketinggian atmosfer yang dingin. Pada proses kondensasi, uap air akan melepas energi panas kandungannya. Energi panas yang dilepaskan oleh uap air akan terkumpul menjadi energi penggerak dari badai tropis. Selain udara lembab juga diperlukan unsur-unsur lain seperti lautan hangat, adanya gangguan cuaca, dan angin yang bergerak naik membawa udara lembab. Bila unsur-unsur tersebut berlangsung cukup lama, maka terjadilah angin kencang, gelombang laut tinggi , hujan deras dan banjir yang mengikuti fenomena badai tropis.

Secara umum, Aktifitas siklon tropis di belahan bumi Selatan berlangsung dari akhir Oktober hingga Mei, dengan puncak aktifitas terjadi pada pertengahan Februari hingga awal Maret.Badai tropis pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perairan bebas seperti lautan yang tidak didiami manusia kecuali untuk pelayaran. Oleh karena itu jarang terjadi bencana akibat badai tropis pada manusia. Walaupun demikian, pergerakan badai tropis dapat mengarah ke daratan dan bila hal ini terjadi akan timbul bencana yang menewaskan ribuan manusia dengan kerugian material mencapai jutaan dollar.

Siklon tropis mempunyai ciri-ciri khas yang membedakannya dari fenomena meteorologi lainnya. Berbeda dari siklon sub tropis yang sumber energinya berasal dari pra kondisi beda suhu di atmosfer, pada siklon tropis harus yang tersedia kelembaban dan uap air yang diperlukannya untuk dapat tumbuh dan berkembang untuk itu badai tropis memerlukan daerah perairan hangat

Secara umum wilayah terjadinya siklon tropis dikelompokkan atas dua wilayah utama yakni belahan bumi utara dan belahan bumi selatan. Siklon tropis yang terbentuk di belahan bumi utara memiliki arah putaran siklon tropisnya searah jarum jam, sedangkan di belahan bumi selatan, arah putaran siklon tropisnya berlawanan dengan arah jarum jam.

Pada kantor dinas Meteorologi datangnya Badai Tropis dapat diamati dengan memperhatikan ciri-ciri kedatangannya yaitu pola angin tertutup yang memutar di suatu wilayah dan juga terlihat dari sekelompok awan yang mengumpul.

Dampak Negatif

Siklon tropis matang rata-rata dapat melepaskan energi panas hingga 6 x 1014 watt, sebanding dengan 200 kali rata-rata total produksi perusahaan listrik seluruh dunia atau sebanding dengan ledakan 10 megaton bom nuklir setiap 20 menit.

Siklon tropis pada lautan terbuka akan menimbulkan gelombang tinggi, hujan deras dan angin berkecepatan tinggi, sehingga mengganggu jadwal pelayaran bahkan menenggelamkan kapal-kapal. Walau demikian, dampak terbesar dari siklon tropis terjadi apabila siklon tropis bergerak ke arah daratan dan menyebabkan tanah runtuh.

Siklon tropis yang bergerak ke arah daratan dapat menyebabkan kerusakan langsung lewat empat macam cara, yakni :

• Angin berkecepatan tinggi
Kekuatan angin hurricane dapat menghancurkan mobil, bangunan, jembatan, dan sebagainya. Kekuatan angin dapat menerbangkan berbagai macam benda yang dapat menghantam penduduk yang berada di daerah terbuka.
• Gelombang laut (storm surge)
Bencana terburuk dari siklon tropis disebabkan oleh melonjaknya gelombang laut. Gelombang laut tinggi akan masuk ke daratan dan menyeret penduduk yang berada di kawasan pantai. Sekitar 80 % korban tewas akibat badai tropis disebabkan terjangan gelombang laut.
• Hujan deras
Aktifitas badai petir pada siklon tropis menimbulkan hujan lebat. Sungai dan saluran air akan meluap, jalan-jalan tidak dapat dilewati, dan dapat disusul oleh tanah longsor.
• Angin Tornado
Radius wilayah hurricane yang luas dapat menebarkan angin tornado di berbagai tempat. Meskipun tidak sekuat hurricane, angin tornado dapat menyebabkan kerusakan serius.
Berbagai peristiwa tragis
Beberapa nama badai tropis yang paling banyak menelan korban manusia terbesar antara lain :
• Siklon Bhola
Pada tanggal 13 November 1970, siklon Bhola berkecepatan 100 mph ( 160Km/jam) menghantam wilayah delta Gangga (Bangladesh) dan menewaskan 200.000 hingga 500.000 jiwa manusia.
• Great Hurricane
Peristiwa Great Hurricane di tahun 1780 merupakan bencana Hurricane terbesar untuk wilayah Atlantik. Kejadian di wilayah Antiles ini menelan sekitar 20.000 hingga 30.000 jiwa manusia tewas.
• Hurricane Galveston
Pada tahun 1900, Hurricane Galveston termasuk kategori 4 pada Skala Saffir-Simpson telah menimbulkan tanah longsor hebat di Galveston, Texas, yang menewaskan 6.000 hingga 12.000 jiwa manusia.
• Hurricane Mitch
Banjir hebat dan longsoran lumpur yang mengikuti Hurricane Mitch pada tahun 1998 di Honduras menyebabkan tewasnya lebih dari 10.000 jiwa manusia hingga mengubah struktur wilayah Honduras.
• Hurricane Andrew
Rekor besarnya kerugian akibat bencana badai hurricane masih dipegang oleh Hurricane Andrew. Kerugian material terbesar mencapai 25 juta dollar AS akibat badai tropis yang terjadi pada tahun 1992 dan menyapu habis wilayah Florida, Amerika Serikat.
• Typhoon Tip
Rekor badai tropis terkuat dan terbesar dipegang oleh Typhoon Tip yang terjadi pada tahun 1970 di wilayah Barat Laut Samudra Pasifik. Typhoon tip menjangkau radius wilayah hingga 1.350 mil atau 2.170 Km (bandingkan dengan rata–rata radius wilayah siklon tropis yang hanya 300 mil atau 480 Km ), sedangkan tekanan udara permukaan minimum pada Typhoon tip hanya 879 mb dan kecepatan anginnya 190 mph atau 305 Km/jam.
• Badai tropis Allison
Siklon tropis lemah (yang masih tergolong badai tropis atau Hurricane lemah) juga dapat menimbulkan bencana besar. Badai tropis Allison di Texas pada tahun 2001 menimbilkan kerugian 5 juta dollar dan korban tewas 41 orang. Pada tahun 2004 di Haiti, peristiwa Hurricane Jeanne yang masih termasuk kelas badai tropis dapat menyebabkan tewasnya 3000 orang karena dampak banjir dan longsoran lumpur yang mengikuti badai tropis tersebut.

Bagaimana menghadapinya?

Badai tropis merupakan fenomena meteorologis yang sangat potensial menimbulkan dampak kerusakan pada daerah yang dilaluinya. Kekuatan alam pada badai tropis begitu besar dan tak ada upaya manusia yang mampu mencegah atau menghilangkan badai tropis. Hal terbaik yang dapat dilakukan adalah mengenali potensi bahaya yang ada dan melakukan antisipasi agar terhindar dari bencana badai tropis.

Upaya antisipasi yang dapat dilakukan antara lain:
• Mengikuti perkembangan informasi cuaca terutama bila ada peringatan akan datangnya badai tropis.
• Hindari bepergian ke daerah pantai pada saat musim badai tropis.
• Berdiam di rumah dengan menutup seluruh pintu dan jendela pada saat terjadi badai tropis
• Menghindar jauh dari pantai saat terjadi badai tropis.

Tindakan saat terjadi badai
• Tetap berada di dalam rumah, kecuali apabila dianjurkan untuk mengungsi.
• Walaupun tidak ada anjuran, masyarakat harus tetap bersiap untuk mengungsi.
• Apabila dianjurkan untuk tinggal di dalam rumah maka semua persediaan sudah disiapkan.
• Jika diperlukan, tinggal di suatu ruangan yang paling aman di dalam rumah.
• Matikan semua sumber api, aliran listrik dan peralatan elektronik.
• Terus mendengarkan radio agar mengetahui perubahan kondisi.

Tindakan setelah terjadi badai
• Usahakan untuk tidak segera memasuki daerah sampai dinyatakan aman
Banyak kegiatan berlangsung untuk membenahi daerah yang baru terlanda bencana ini. Untuk memperlancar proses ini sebaiknya orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk.
• Gunakan senter untuk memeriksa kerusakan.
Jangan menyalakan aliran listrik sebelum dinyatakan aman. Jauhi kabel-kabel listrik yang
terjatuh di tanah. Untuk menghindari kecelakaan, jalan yang terbaik adalah menjauhi kabel-kabel ini.
• Matikan gas dan aliran listrik.
Untuk menghindari kebakaran, apabila tercium bau gas segera matikan aliran gas dan apabila ada kerusakan listrik segera matikan aliran dengan mencabut sekring. Ini hanya boleh dilakukan oleh orang yang benar-benar paham tentang listrik.
• Pergunakan telepon hanya untuk keadaan darurat.
Jaringan telepon akan menjadi sangat sibuk pada saat seperti ini. Kepentingan untuk
meminta bantuan harus diutamakan.
• Mendengarkan radio untuk mengetahui perubahan kondisi.

Minggu, 20 Juli 2008

Nias KAP Survey - Findings

BY: JOSEPH VIANDRITO

E-Prep Nias team conducted Knowledge, Attitude and Practice (KAP) Survey in 33 villages located in Sirombu, Afulu and Teluk Dalam Sub-District in Nias and South Nias in early 2008. Some findings found:

1. Lack of basic knowledge:

a. Lack of basic knowledge about earthquake.

* Question no. 3.: What makes the quake happened?
- Half of people (46.3%) are not know or not sure that earthquake is caused by fault movement.
- Amounted 87,83% (means 9 of 10 people) believe that storm and strong winds can cause earthquake. In the coast of Mentawai and Nias, storm and strong winds is a daily occurence.

* Question no. 4: Can we predict the earthquake?
- Worth 29.36% people stated that the upcoming quake can be predicted. While 16.71% are not sure. Totally 46.06% (half of respondents) gave wrong answer.

3 What is the cause of earthquake? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. Fault movement 224 27 167 419 53,46 6,44 39,86
b. Mount eruption 377 12 30 419 89,98 2,86 7,16
c. Landslides 180 184 55 419 42,96 43,91 13,13
d. Typhoon 51 296 72 419 12,17 70,64 17,18
e. Oil drilling 63 204 152 419 15,04 48,69 36,28
4 Can we predict an earthquake? 123 225 70 419 29,36 53,70 16,71

b. Lack of basic knowledge on building codes.

- The data shows below that 9 of 10 people (91.65%) do not know (No or Not Sure) the characteristics of an earthquake resistance house.
- About 3 of 5 people (No and Not Sure) that put house foundation deeper will make the house get stronger.
- Worth 55.61% respondents are still confusing in how to choose building materials.

6 What are the criteria of an earthquake resistant house? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. Good shape 35 115 269 419 8,35 27,45 64,20
b. Good building foundation 176 150 94 419 42,00 35,80 22,43
c. Good building material
186 123 110 419 44,39 29,36 26,25
d. Light material 317 63 39 419 75,66 15,04 9,31

c. Lack of basic knowledge on how to do during/after earthquake.

- At question no. 7 d and e, both gave results amounted 28.16% people (No and Not sure) are still not aware that hanging things and glass windows are hazard.
- At question no. 7 f, we found that 23.39% (No and Not Sure) are still not know how to do after the quake ended.

7 What will you do in case of earthquake? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. Go to safe place (under a table) 298 91 30 419 71,12 21,72 7,16
b. Protect our head 326 67 26 419 77,80 15,99 6,21
c. Go to open field 417 2 0 419 99,52 0,48 -
d. Stay away from hanging things 301 68 50 419 71,84 16,23 11,93
e. Stay away from glass window/wall 301 72 46 419 71,84 17,18 10,98
f. Leave after the shake finished 321 82 16 419 76,61 19,57 3,82
g. Go out from high building when quake happened 244 143 32 419 58,23 34,13 7,64


d. Lack of basic knowledge about tsunami.

- People are still confused about what makes tsunami occured. At question 9 d, totally 43.44% (Yes and Not Sure) of respondents said that typhoon and storm will cause tsunami.

9 Can these events cause a tsunami? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. Quake under the sea 301 24 94 419 71,84 5,73 22,43
b. Mount eruption under the sea 315 21 83 419 75,18 5,01 19,81
c. Landslides under the sea 195 97 127 419 46,54 23,15 30,31
d. Typhoon 81 236 101 419 19,33 56,32 24,11


2. Lack of information and communication

- People are still depend on their relatives and family to get information about earthquake and tsunami (73.27%). While in some places they can get access of information from television (65.39%). However, in sudden situation television is useless since the electricity power will be dropped.

- Limited information about disasters from posters, leaflet, handbook, and billboard (85,68% for No and Not Sure), also from seminar, socialization and meeting (66.11%) bring opportunity for the E-Prep program to fill the gap


13 From where do you get information about earthquake and tsunami? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. Radio 225 190 4 419 53,70 45,35 0,95
b. Television 274 142 2 419 65,39 33,89 0,48
c. Newspaper, magazines, bulletin 102 298 18 419 24,34 71,12 4,30
d. Handbook, poster, leaflet, billboard, early warning signs 59 337 22 419 14,08 80,43 5,25
e. Socialization, seminar, meeting 141 263 14 419 33,65 62,77 3,34
f. Relatives, friends, neighbours 307 110 1 419 73,27 26,25 0,24
g. government officials 85 331 3 419 20,29 79,00 0,72
h. NGO 106 305 8 419 25,30 72,79 1,91
i. Local Disaster Management Team 80 328 10 419 19,09 78,28 2,39

3. Family Contingency Plan
a. From question No. 14, we found that family are lack of initiaves in preparing themselves towards earthquake and tsunami.
- They are not trying to get information about disasters (45.67% - No and Not Sure)
- They do not make evacuation plan (44.23 %, total of No and Not sure)
- They do not practice evacuation drill (83.41%, total of No and Not sure)
- They do not prepare their houses to be more quake resistance (76.20%, total of No and Not sure)
- They are not interested to move to higher ground (67.79 %, total of No and Not sure)

14 What do your family prepare for earthquake and tsunami?
Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. Increase knowledge about earthquake and tsunami 226 128 62 416 54,33 30,77 14,90
b. Make a family evacuation plan 232 142 42 416 55,77 34,13 10,10
c. Do family evacuation drill 69 256 91 416 16,59 61,54 21,88
d. Build an earthquake resistant house 99 254 63 416 23,80 61,06 15,14
e. Move the house to high ground 134 263 19 416 32,21 63,22 4,57


b. From question No. 16, we found specifically that family are not prepared when the disasters come.

- Not preparing evacuation map and route (totally 84.49% - no and not sure)
- Not preparing emergency food (80.91% - no & not sure)
- Not preparing important emergency contacts (93.08%)
- Not preparing clothes and cash (78.76%)
- Not trained in evacuation (83.29%)
- Not preparing communication equipments (79.95%)


16 Do your family have these plans? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. Prepare map, evacuation route and detail action plans when quake/tsunami strike? 65 298 56 419 15,51 71,12 13,37
b. To set up a family evacuation site? 255 149 15 419 60,86 35,56 3,58
c. To prepare a ready-eat food 80 326 13 419 19,09 77,80 3,10
d. To prepare important and valuable documents 317 95 7 419 75,66 22,67 1,67
e. To prepare important contact numbers in case of emergency (hospital, police, fire department) 29 337 53 419 6,92 80,43 12,65
f. To prepare clothes & cash 89 299 31 419 21,24 71,36 7,40
g. To join an evacuation drill 70 303 46 419 16,71 72,32 10,98
h. To prepare communication equipments (HT/radio/HP) 84 300 35 419 20,05 71,60 8,35


c. From question No. 18, we found that family do not prepare first aid kits and medicines in case of emergency (94.51%)


18 Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
Do your family prepare the first aid box? 23 396 0 419 5,49 94,51 -



4. Village Contingency Plan

Villages have lack of capacity and preparation in case of emergency.
- 67.06% of villages have no evacuation sites
- 96.18% of villages have no adequate food and water stock
- 95.70% of villages have no evacuation map or evacuation route
- 97.86% of villages have no Hazard and Risk Map
- 42.48% of villages have no information board
- 69.21% of villages have no Satlinmas (village disaster management) team

17 Do your village have …..? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. evacuation sites 138 245 36 419 32,94 58,47 8,59
b. Food and water stock in case of disaster strike 16 366 37 419 3,82 87,35 8,83
c. Evacuation map and evacuation route 18 349 52 419 4,30 83,29 12,41
d. Risk map 9 362 48 419 2,15 86,40 11,46
e. Information board 241 153 25 419 57,52 36,52 5,97
f. Local disaster management team 129 271 19 419 30,79 64,68 4,53


5. Early Warning System

From question No. 19, we found that early warning system is not properly worked.
- 89.74 % of families do not know how the early warning system works.


19 Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
Do you know about tsunami early warning system? 43 288 88 419 10,26 68,74 21,00






6. Capacity Building Need
a. Most of villagers, amounted 72.49% (total of No & Not sure), did not get trainings towards emergency situation

22 Does anybody have joined a training/seminar/meeting about disaster management? 115 295 8 418 27,51 70,57 1,91

b. Among trained people, they only got basic training on disaster preparedness, but they get limited trainings on other topics, such as: first aid, evacuation, scouting, water & sanitation, and agriculture.

23 If yes, what kind of trainings you get? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %

a. First aid training 19 101 0 120 15,83 84,17 -
b. Victim evacuation 7 113 0 120 5,83 94,17 -
c. Scouting 8 112 0 120 6,67 93,33 -

d. Water & sanitation treatment 2 118 0 120 1,67 98,33 -
e. Disaster management 101 18 0 119 84,87 15,13 -
f. Against silent tsunami (Food security) 9 112 0 120 7,50 93,33 -

7. History of Village Disaster

Instead of Earthquake and Tsunami, villages in Nias had suffered many disasters before. Epidemic becomes the highest rank (56.56%), followed by landslides (28.40%) and flood (24.34%).

26 Have your village ever suffered these disasters? Yes
No
Not Sure Total Respondent Yes
% No
% Not Sure %
a. Flash Floods 18 291 17 419 4,30 69,45 4,06
b. Seasonal floods 102 220 3 419 24,34 52,51 0,72
c. Landslides 119 241 7 419 28,40 57,52 1,67
d. Forest fires 40 280 3 418 9,57 66,99 0,72
e. Disease Epidemic 237 82 3 419 56,56 19,57 0,72
f. Social conflicts 86 231 1 419 20,53 55,13 0,24
g. Hunger (Food stock insecurity) 71 249 2 419 16,95 59,43 0,48


----- JV -----

The Earthquake and Tsunami Museum established in Nias

BY: JOSEPH VIANDRITO

The Earthquake and Tsunami Museum has been established in Sirombu Nias and was officially launched by Ausaid and local government on May 6, 2008. As the first Earthquake and Tsunami Museum in Indonesia, the museum has attracted many people to visit it till now. In Thailand, the tsunami museum is well known among tourists.

Sirombu is chosen, since the area is hardly hit by earthquake and tsunami in last 2004 and 2005. Visitors can see some ruin buildings in the area and get lessons. The area is declared as “the Tsunami and Earthquake Sanctuary”, a memorial statue has been set up to make everybody can show their respect to the victims by putting some flowers or just pray.

The goal of establishing the museum is to set a place to learn everything we want to know about earthquakes and tsunami and how we should prepare. Some information are provided like: why the ground shakes, how scientists study quakes, great quakes of the past, some survival stories, map of the past earthquakes around Nias and also the world, and what we can do to prepare for disaster.

The wall of museum is covered by banners of all targeted village. The banners show some mottos in local language to demonstrate how the village prepare for disaster.

Besides disaster information, the museum is also designed to make people a bit scary, by providing some frightening pictures, like victims, destruction and also list of victim names.

A computer -provides some short films about disaster- is prepared if visitor want to watch it. The museum also displays film in big screen if needed.

Apart of “what we can do to prepare” section, the museum also provides some additional information about health resilience. That’s why the museum also called as “Health Resilience Information Centre”. Secondly, the museum also want to make people aware of the “Silent Tsunami”, the new term that is introduced by United Nations, to define the danger of hunger problem, due to food shortage recently.

Accordingly, the museum is also called as “Vitamin Garden Centre”, to provide visitors with some information on how to deal with the “Silent Tsunami”. A garden, consist of many useful plants, has been set up.

Hundreds of visitor has been explored the museum, as well as many school teachers had been brought their students to visit the museum.

Skala Richter

Seringkali kita mendengar, membaca, dan mendengar berita setelah gempa menggunakan kata Skala Richter. Misalnya : Gempa Bumi berskala 7,2 Skala Richter, 165 KM Barat Daya Muko-Moko Bengkulu…Apa sih sebenarnya Skala Richter itu ???

Oleh : Stephen Ray L. Mathias.

Skala Richter pertama kali dikembangkan oleh ahli seismografi asal Institut Teknologi California bernama Charles Richter yang dibantu koleganya Beno Guttenberg di tahun 1935. Skala Richter ini didasarkan pada pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh alat yang bernama seismograf yang paling idealnya (menurut salah seorang ahli geologi Jepang yang saya lihat di sebuah acara di stasiun TV NHK World lewat jaringan TV kabel) diletakkan sekitar 100 km atau 62 mil dari pusat gempa (epicentre). Skala Richter ini merupakan skala logaritmik, bukan skala aritmatik.

Jadi misalnya ada dua buah gempa, yang satu berkekuatan 2 skala Richter, yang satu lagi berkekuatan 4 skala Richter, bagi mereka yang belum tahu mungkin akan mengira bahwa gempa yang berkekuatan 4 skala Richter ini berkekuatan 2 kali dari gempa yang berkekuatan 2 pada skala Richter. Perkiraan itu salah, pada kenyataannya gempa yang berkekuatan 4 pada skala Richter tersebut berkekuatan 100 kali dari gempa yang berkekuatan 2 pada skala Richter. Lha, dari mana angka 100 itu? Mudah saja, untuk mengerti skala logaritma tidak memerlukan keahlian matematika khusus, cukup hanya bekal ilmu matematika setingkat SMP saja. Sayapun bukan ahli matematika dan dapat mengerti dengan cukup baik skala Richter ini, anda tentu juga akan mudah untuk mengerti skala Richter ini.

Misalkan: gempa X berkekuatan 4 skala Richter, dan gempa Y berkekuatan 2 pada skala Richter, maka:
log X = 4, maka X = = 10.000.
log Y = 2, maka Y = = 100
maka kekuatan gempa X adalah atau = 100 kali kekuatan gempa Y.

Nah, sekarang coba kita bandingkan kekuatan gempa di perairan Sumatra 2004 yang mengakibatkan tsunami besar di berbagai negara Asia yang berkekuatan 9,2 skala Richter (menurut yang tercatat di salah satu stasiun gempa di AS) dengan gempa bumi San Francisco di Amerika Serikat tahun 1989 yang berkekuatan 7,1 pada skala Richter. Misalkan gempa di Sumatra kita singkat jadi Sm, dan gempa di San Francisco kita singkat jadi Sf.

Log Sm = 9,2, maka Sm = =
Log Sf = 7,1 maka Sf = =

Jadi kekuatan gempa Sm adalah = 125,4 kali kekuatan gempa Sf.
Mudah bukan?

Jumat, 18 Juli 2008

Tim Penanggulangan Bencana Mentawai

By: Stephen Ray Leon Mathias

“SATLINMAS – TIM PENANGGULANGAN BENCANA MENTAWAI,
menembus keterbatasan demi harkat dan martabat hidup masyarakatnya“

Sebagai Institusi Resmi Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat
Pertama di Indonesia setelah keluarnya
Undang-Undang Penanggulangan Bencana No.24 Thn.2007.


Masih belum lepas dalam ingatan kita semua, bahwa pada September 2007 sedikitnya 2 gempa besar meluluhlantakan sebagian besar bangunan yang berlokasi di Bumi Sikerei. Belum selesai kisah September, kemudian terjadi lagi gempa besar di bulan Februari 2008. Kali ini giliran Pantai Timur Pagai Utara dan Sipora Selatan Timur jadi sasarannya.
Namun bukannya kisah baru, bahwa Penanggulangan Bencana, termasuk Penanganan Pengungsi maupun Korban Bencana di Indonesia maupun di Dunia tidaklah seperti yang kita sebagai masyarakat harapkan. Bukan karena Pemerintah tak serius menangani permasalahan yang ada, namun tantangan lokasi masyarakat korban gempa seringkali menjadi kendala utama bagi pihak manapun yang hendak membantu.

Beberapa daerah di Aceh sampai mengalami kondisi kelaparan serta kehausan pada pasca Tsunami 2004 lalu. Sampai-sampai semua jenis kendaraan darat, laut dan dikerahkan. Sampai kinipun baik Aceh maupun Yogyakarta masih menyisakan daftar nama korban bencana yang belum menerima bantuan yang layak.

Pada tahun 2005, Jakarta mengalami Banjir besar, ibukota yang tersohor di seluruh dunia dengan Pendapatan Asli Daerah miliaran setiap bulannya ternyata pun tak mampu menjawab tantangan. Akhirnya ada beberapa daerah yang harus tinggal diatap-atap rumahnya selama 2 minggu.

Terbukti uang, kendaraan modern, kekuasaan, dan banyaknya pihak pembantu dari luar, ternyata tak mampu menjawab tantangan.

Lalu siapa yang bisa ???

Satlinmas Tim Penanggulangan Bencana / Tim Siaga Bencana Dusun merupakan pihak yang diyakini oleh semua orang akan menembus segala batas da rintangan yang ada. Mengapa ? Karena mereka berasal dan dipilih oleh Masyarakatnya untuk cepat menganalisa situasi, cepat berencana, dan yang penting Cepat Tepat dalam bertindak.

Pada bulan April sampai dengan Mei 2008, telah terbentuk SATLINMAS Tim Penanggulangan Bencana Masyarakat di 23 Dusun. Mereka ini adalah Institusi Penaggulangan Bencana Berbasis Masyarakat ber SK Desa pertama di Indonesia, sejak keluarnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana No.24 Tahun 2007.
Kalau ingin mengenal mereka dari dekat, datanglah dan saksikan kiprah mereka di Desa Tuapejat yakni Dusun Pukarayat, Dusun Berkat(Berimanua Baru). Di Desa Bosua (Sipora Selatan) yakni Dusun Katiet, Dusun Mongan Bosua, Dusun Sao, Dusun Gobik, Dusun Bosua. Di Desa Silabu (Pagai Utara) yakni Dusun Silabu Barat, Dusun Silabu Utara, Dusun Silabu Selatan, dan Maguiruk. Untuk wilayah Siberut, mereka tersebar di wilayah Kecamatan baru yakni Siberut Barat Daya, tepatnya di Desa Taileleu, yakni Dusun Kirip, Dusun Maonai, Dusun Baddan, Dusun Tolomo, Dusun Boboakenen dan Dusun Peipei. Di Desa Katurei, terbentang mulai dari Dusun Toloulaggo, Dusun Malilimo, Dusun Sarausau dan Dusun Tiop.

Mereka ada
sebelum, saat, dan sesudah bencana ,
sebelum yang lainnya tiba


Perwakilan masyarakat andalan dalam hal Penanggulangan Bencana di daerahnya itu, membagi dirinya dalam Regu-Regu sesuai fungsi dan tindakan mereka Sebelum, Pada Saat, dan Setelah Bencana. Regu-Regu dalam Tim Penanggulangan Bencana di Mentawai meliputi :

1. Regu Peringatan Dini, mereka ini berfungsi sebagai pembantu Pak Kepala Dusun dalam memutuskan perlunya mengungsi ke tempat tinggi ataupun tidak. Untuk itu mereka telah memiliki kesepakatan bunyi tanda bahaya yang disosialisasikan pada warganya.

2. Regu Pengungsian / Evakuasi, mereka inilah yang akan memastikan bahwa kelompok rentan (para orangtua, wanita hamil, wanita menyusui, orang sakit dan orang cacat) akan mengungsi sebagaimana mestinya. Sebelum bencana regu ini idealnya sudah mempersiapkan daerah yang layak menjadi tujuan pengungsian.

3. Regu Pemetaan, berfungsi mengajak warga untuk mengenal lokasi-lokasi yang aman dan layak untuk dijadikan jalur evakuasi dan tempat menyelamakan diri. Mereka juga akan mampu menunjukan deerah dibawah ancaman bencana.

4. Regu Perintis, berfungsi sebagai “pembuka jalan-jalan” yang memudahkan masyarakatnya mencapai daerah-daeah yang diharapkan seperti sumber air saat di pengungsian, tempat buang hajat agar sanitasi tetap terjaga, dan juga tempat memperoleh makanan cadangan. Oleh karena itu orang yang masuk regu ini haruslah orang yang paham betul seluk beluk wilayahnya.

5. Regu Administrasi, Regu ini akan menyiapkan data-data serta kebutuhan administrasi yang dibutuhkan. Hal Administrasi merupakan hal yang paling menentukan kecepatan serta ketepatan penanganan masalah. Contoh: tak mungkin dicapai kesepakatan kebutuhan jumlah bahan makanan yang dibutuhkan apabila warga tak tahu berapa jumlah keluarga, dan anggotanya. Selain itu penyaluran bantuan akan menjadi lebih tertib dan cepat bila sudah tersedia hal-hal administratifnya.

6. Regu Logistik dan Perlengkapan, regu ini akan cepat bertindak meyediakan peralatan dan bahan yang dibutuhkan saat bencana maupun setelah bencana. Contohnya : penyediaan tenda, alat masak, dan beberapa alat pertukangan yang diperlukan dalam membangun tempat hunian sementara di pengungsian.

7. Regu Pencarian dan Penyelamatan, sering juga disebut Regu SAR. Merekalah yang akan mencari serta menyelamatkan yang hilang.

8. Regu Dapur Umum, menyediakan makanan sehat yang dibutuhkan paling tidak disaat-saat awal setelah bencana. Regu ini mungkin tak akan banyak berfungsi lagi saat para keluarga telah dapat mengupayakan makanannya sendiri.

9. Regu Kesehatan dan Pertolongan Pertama saat Kondisi Darurat, Regu ini bertugas mengobati yang luka akibat bencana. Dengan harapan peluang hidup korban menjadi lebih besar, untuk korban luka parah, tetap harus dirujuk ke Puskesmas ataupun Rumah Sakit terdekat.

10. Regu Keamanan, menjamin tertibnya kegiatan pengungsian dan penyaluran bantuan. Juga memastikan para kelompok rentan menjadi prioritas dalam mendapatkan bantuan.

11. Regu Penanganan Kebakaran, Regu ini akan waspada terhadap bahaya kebakaran yang mungkin timbul akibat kepanikan saat bencana. Regu ini juga akan mengadakan penyuluhan2 kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran hutan.

12. Regu Informasi, Dokumentasi dan Hubungan Luar, Regu ini akan menjalin hubungan dengan pihak-pihak diluar komunitas masyarakat, dalam melaporkan serta mengupayakan hal-hal lain yang belum ada. Regu ini juga menjamin informasi dari pihak luar akan didapatkan oleh warga masyarakatnya. Oleh karenanya regu ini akan akrab dengan alat komunikasi serta media informasi.


Bapak Camat Sipora Selatan, Bpk. Akas Sikatsila mengungkapkan syukur atas inisiatif warganya dalam membentuk Tim Siaga Bencana di wilayahnya, dan berharap bisa di contoh oleh Desa an Dusun lain. Di kesempatan lain Bapak Camat Sipora Utara, Bpk. Syamsuddin berharap Tim ini bukan hanya dibentuk tapi mampu beraksi sebagaimana diharapkan. Pak Camat Siberut Selatan saat melantik timnya di Desa Taileleu punya harapan agar Tim Siaga Bencana mampu menjadi ”kunci sukses” selamatnya seluruh warga Siberut Barat Daya dari ancaman bencana yang diperkirakan oleh para Ahli geologi.

Dengan terbentuknya Tim-Tim Siaga Bencana atau Tim Penanggulangan Bencana lainnya di Dusun-Dusun Mentawai yang jumlahnya mencapai 202 Dusun tersebar di 43 Desa, niscaya kemandirian masyarakat bukan lagi menjadi wacana lagi. Saatnya kita katakan ”KITA BISA BERBUAT DISAAT YANG LAIN BELUM DATANG......”



Tanpa Pandang Bulu….,
…..REGU KESEHATAN DAN P3K, MEMPERPANJANG PELUANG HIDUP BAGI YANG TERLUKA
…REGU DAPUR UMUM MENYEDIAKAN MAKANAN SEHAT TRADISIONAL,DIAWAL MASA DARURAT
…REGU EVAKUASI DAN PENGUNGSIAN MEMPRIORITASKAN YANG LEMAH
….REGU INFORMASI MENGUPAYAKAN BANTUAN DAN MELAPORKAN SITUASI KE LUAR KOMUNITAS
….REGU LOGISTIK CEKATAN MENYEDIAKAN KEBUTUHAN HIDUP
…REGU ADMINISTRASI MENJAMIN AKUNTABILITAS PENYALURAN BANTUAN
…REGU KEAMANAN MENERTIBKAN DAN MENGAMANKAN SEGALA KEGIATAN
....dan
TUHAN YANG MEMBERI KEKUATAN SERTA PERLINDUNGAN


Taggei tubu itata ake’Pulotokat
(Motto Tim Penanggulangan Bencana Malilimo, Siberut Barat Daya, Mentawai)
Kesiapsiagaan Kita Menghilangkan Rasa Takut
There are no fear, when we prepared.

What makes the CBDRM Programme in Western Islands of Sumatera so Unique?

By: Joseph Viandrito

SurfAid International is implementing a three-year Community-Based Disaster Management and Risk Reduction initiative to develop effective disaster preparedness and management systems for the western islands of Sumatra. What makes it unique?

Firstly, the program targets the most risk communities in earthquake and tsunami prone areas. Sumatra is an active continental margin where tectonic processes are controlled by the three major fault systems of the Sunda Trench, the Sumatran Fault and the Mentawai Fault (John Milsom, University College London, UK). The island groups of the Western Islands have been formed by the subduction of the oceanic plate under the continental plate in an ongoing process. There is Palaeoseismic evidence of large recurrent earthquakes and tsunamis. Caltech and LIPI research shows signs of elevation of parts of the archipelago in 1600, 1797 and 1833 due to massive earthquakes, with eventual receding to their original state. The 2004 Aceh earthquake and 2005 Nias earthquake thrust parts of the archipelago up to 2 meters – raising the reef above current high tide marks. Other areas fell by up to 1 metre, such as occurred in parts of the Banyak Islands (Vant Hoff, field report, July 2005).

The aftershock pattern observable after these big seismic events suggested the following probability of more large earthquakes in the Western Islands over the following two years: A 12.5% chance of another magnitude 8 earthquake, and a 33.3% chance of a magnitude 7.5 earthquake. (Lucy Jones, U.S. Geological Survey, April 11, 2005). Both of these events occurred on 12 & 13 September 2007 (!) with Caltech and LIPI scientists warning that a section of the Mentawai Fault remains locked and extremely vulnerable. The likelihood of a tsunami being associated with a tectonic rupture depends on the depth of water above the earthquake epicenter. There are many locations along the Mentawai fault which are located in a depth of water sufficient to generate an associated tsunami.

Communities are vulnerable not just to earthquakes and tsunami disasters but a range of other natural disasters including landslides, flooding and epidemics. The likelihood of another major natural disaster in the Western Islands of Sumatra, combined with the ongoing vulnerability of much of the population, suggests a need for both enhanced community disaster preparedness and risk reduction strategies.

Secondly, the target communities are extremely isolated, predominantly coastal communities with very low human development indexes – particularly basic health, education and socio-economic indicators. Target villages in Mentawai islands are difficult to access and this is dependent on weather and sea patterns. Safety is a key issue for our staff. A Marine Manager is responsible for analysing weather and sea conditions before staff travel. A strong marine capacity is required for the Mentawai Islands, while in Nias Island roads to target villages are in poor condition and often accessed by motorbike or by foot. Weather conditions impact dramatically on access.

Although facing these constraints, the SurfAid International CBDRM program is successfully developing effective disaster preparedness and management systems for the western islands of Sumatra. High participation, contribution and involvement rates of the target communities and local governments have been noted in program activities. Communities are preparing their own action plan/mitigation projects, and have already established Community Disaster Risk Management Organizations (CDRMO). The program also empowers local government to establish district disaster management teams. Working in conjunction with the district and regional authorities ensures that preparedness plans feed properly into government disaster planning processes and supports their roles.

The main focus of the program is to socialize safe community concepts at the district, sub-district and village level, creating CDRMOs and conduct school-based training and simulations. Specific training that has been identified includes SAR (Search and Rescue) techniques and basic first aid. Other important skills include data collection and natural disaster analysis. SurfAid International will continue to work together with the district government including disaster response units, planning department and local parliament to assist in the formation of district planning and budgeting in line with the new Disaster Management Law.

In the Mentawai Islands E-Prep staffs have joined the Rehabilitation & Reconstruction Preparation Team to assist with data validation and other identified post-disaster activities. In Nias E-Prep is an active member of the Disaster Management Coalition and will continue to lay an important role in this organisation. SurfAid is also a member of the West Sumatera Disaster Management Coalition.

At grassroots level, the program has given benefit to community in 55 target villages – 33 target villages in Nias Island, North Sumatra and 22 target villages in the Mentawai Islands, West Sumatra. The direct beneficiaries of the project are approximately 35,000 people from the 53 villages which are spread over eight sub-districts. The indirect beneficiaries are the households in neighboring villages who will have opportunities to better prepare their communities via transfer of knowledge and cross-utilization of resilience mechanisms. Many of the total population of 770,000 in Nias and Mentawai get benefit from a community awareness campaign that includes radio and other multimedia educational materials such as print, film and community celebration activities.

A village-based social marketing strategy was conceived to help promote CBDRM to the wider community and to teach key disaster management concepts. The strategy was designed to encourage community participation by organising a series of celebratory events and competitions which involved school children, women’s groups, religious leaders and village elders. Some tactics are Village Welcome Gates Competition, Emergency Preparedness Information Board Competition, Community Poster Competition, Disaster Preparedness Songs Competition (in local language), Emergency cooking competition; Emergency tent competition; Painting competitions for children; Disaster Quiz; Emergency Grab Bag Competitions; Events and competitions linked to independence day celebrations.

Community based disaster preparedness also provides an opportunity to work together with local communities on structured plans, in association with the dissemination of clear information about the current levels of risk. It provides a chance to review traditional knowledge and draw upon local resources and wisdom. Each community has formulated standard operating procedures, evacuation routes and evacuation sites, baseline data and will identify mitigation projects and future training needs. PDRA techniques have been implemented, in order to make appropriate plans and implement concrete actions to reduce and/or eliminate disaster risks that will adversely affect their lives. The process of implementing PDRA involves those at risk, authorities and other stakeholders.

Communities have produced hazard and resources maps, to identify areas at risk from specific hazards and the vulnerable members of the community and to identify available resources that could be used by community members in disaster risk management. Communities also made Matrix Ranking to determine the hazard that has the most serious impact on the community.

In order to learn what are the significant disaster events that occur in the community, communities have produced historical timelines, and to get a picture of the vulnerability of the community and the resources that are available or could be available for disaster risk management, people have conducted transect walks. Other techniques have also been implemented such as seasonal calendars, historical transect, institutional/social network analysis, problem tree, and dream maps. Each village then prepares a Hazard Vulnerability and Capacity Analysis (HVCA) framework and a Disaster Risk Reduction (DRR) Plan which will be presented to the sub-district and district governments. These plans will form the basis of village disaster preparedness action plans and will be combined with village-based contingency planning for disasters.

Accurate information remains an important component of the E-Prep Program. The program will continue to create disaster preparedness media including a bi-monthly radio program (Radio Siaga Bencana), a bimonthly bulletin (Waspada!), publish and distribute posters designed by the communities, distribute pocket information books on earthquakes etc. E-Prep is currently producing a series of CBDRM films which will be used to assist local communities to address disaster preparedness and response issues. The films will include cover explanation of CBDRM, hazard and risk mapping, search and rescue and early disaster response and forming and maintaining village disaster management teams. These films will also be distributed throughout Indonesia. A series of disaster preparedness puppet films will be shown to children in the target communities through a traveling cinema program. These film nights will include disaster management education activities.

The disaster response capacity of SurfAid has been proven through the three most recent disasters in the region – 2004 Indian Ocean tsunamis, 2005 Nias earthquake, and 2007 Mentawai earthquake. Experience gained through these emergency responses can be transferred into operating procedures and logistical knowledge. Knowledge and operating capacity in the geo-marine environment, and established relationships with communities and the governments, places SurfAid in a unique position to implement a successful community disaster preparedness program.

Preparing For the Next Big Earthquake

Preparing For the Next Big Earthquake:
SurfAid Profiled on Australia Network

On 7 May 2008, Australia Network's NewsHour, which airs throughout Asia and the Pacific, broadcast "Preparing for the next big earthquake", a story focusing on the September 2007 earthquakes in the Mentawais and SurfAid's role in improving disaster response through the E-Prep program, which is sponsored by AusAID. The piece included information on SurfAid's efforts to expand the broadcasting capability of local radio in the islands, as well as an interview with E-Prep Programme Manager Jason Brown.

From:
http://australianetwork.com/newshour/archives.htm?site=May2008

Profil: Mona Lisa, pejuang kesiagaan bencana dari Mentawai

Diambil dari:
Volume 3, Terbitan 1 dari OnBoard,
eNewsletter Australasia SurfAid International.

http://www.surfaidinternational.org/atf/cf/%7B46DF7ED0-44B1-4CD7-A9D5-2C5DE97C88E5%7D/MONALISAPROFILE.HTML

Kami di SurfAid juga memiliki Mona Lisa dan ia sama bernilainya bagi tim dengan lukisan yang lebih terkenal yang dipajang di Museum Louvre di Paris.

Mona Lisa kami, 25 tahun, telah menjadi bagian dari tim Program Siaga Bencana di Kepulauan Mentawai sejak Juni 2007.

Lahir di Siberut, pulau paling utara di Mentawai, Mona Lisa tinggal di desa Katurei di Siberut Selatan dan bekerja di dusun Tiop dan Sarausau.

Ia adalah salah satu dari 12 Fasilitator Masyarakat untuk Siaga Bencana yang tinggal bersama dengan masyarakat sasaran, fasih dialek lokal dan memahami budaya dan adat-istiadat lokal.
Anggota Staf Siaga Bencana, Mona Lisa (kiri). Foto: Kirk Willcox / SAI

“Saya sangat menikmati pekerjaan ini karena saya bekerja dekat dengan masyarakat pada Program Siaga Bencana dari SurfAir dan saya membantu mereka untuk siaga jika terjadi gempa bumi atau tsunami atau bencana serupa lainnya,” kata Mona Lisa.

“Tim ini sangat bagus dan banyak hal yang dikerjakan setiap hari dan saya belajar banyak hal. Berkat pekerjaan kami, masyarakat tahu mengenai apa yang harus dilakukan jika ada bencana dan mereka tahu bahwa mereka akan lebih aman karena adanya pengetahuan ini.

“Jika terjadi gempa bumi, mereka akan menjauh dari bangunan ke tempat terbuka sambil melindungi kepala mereka, dan jika gempa bumi terjadi lebih lama dari 50 detik, akan ada kemungkinan terjadinya tsunami sehingga mereka tahu bahwa mereka harus ke dataran yang lebih tinggi, mengikuti rute evakuasi yang telah mereka buat. Kesiagaan berarti menyelamatkan kehidupan.”

Program Siaga Bencana disponsori oleh AusAID, sebagai bagian dari Kemitraan Australia-Indonesia, dan Mona Lisa baru-baru ini belajar tarian tradisional Mentawai untuk pertunjukan di dusun Tiop selama peninjauan tengah program dari AusAID.

Anggota Staf Siaga Bencana, Mona Lisa, ketiga dari kiri, pada pertunjukan tarian tradisional Mentawai di desa Tiop, pulau Siberut Selatan, dalam acara kunjungan peninjauan program AusAID bulan April. Foto: Kirk Willcox/SAI
Ia berencana untuk terus belajar menari. “Kami memiliki pengajar tari untuk pertunjukan tersebut dan saya sangat menikmati belajar menari dan akan terus belajar lagi. Menari adalah cara yang baik untuk berbagi waktu dengan para wanita di masyarakat.”

Manajer Program Siaga Bencana, Jason Brown, berkata: “Saya sangat senang jika melihat fasilitator masyarakat benar-benar menjadi anggota masyarakat di mana mereka tinggal dan diterima di masyarakat.

“Ini adalah langkah besar pertama untuk menjadi fasilitator yang efektif. Ikut tarian lokal, acara atau perayaan adat, atau membantu dalam kegiatan gotong-royong, termasuk jenis aktivitas yang akan membantu untuk membentuk kepercayaan yang sangat penting dalam setiap program pengembangan masyarakat.”


Dua Staf SurfAid Terkena Malaria

Fasilitator Masyarakat (FM) untuk Program Siaga Bencana, Mona Lisa, menderita sakit parah di lapangan pada bulan Juni dan terkena dua jenis malaria yang ditemukan di Mentawai—plasmodium falciparum dan plasmodium vivax. FM lainnya, Yimi, juga terkena plasmodium falciparum yang bisa fatal jika tanpa perawatan. Keduanya segera dibawa dari Tua Pejat ke Padang, melintasi laut sejauh 150 km, dengan menggunakan kapal cepat SurfAid, Sibex, pada hari Jumat, 20 Juni. Mobil ambulans menunggu mereka dan segera mengantar mereka ke rumah sakit di Padang.

Setelah perawatan, Mona Lisa bisa meninggalkan rumah sakit tiga hari kemudian dan dokter menyarankannya untuk beristirahat di rumah selama lima hari. Yimi juga segera sembuh dan keduanya sekarang telah kembali ke lapangan. Hal tersebut menunjukkan bahaya yang bisa dihadapi oleh staf kita yang bekerja di lapangan. Ketika keduanya sakit, telah ada laporan mengenai beberapa kasus malaria lebih lanjut di desa Mappadegat, dekat Tua Pejat.

AusAID meninjau Program Siaga Bencana di Mentawai dan Nias

Pada akhir April/awal May 2008, tim dari AusAID—badan pemerintah Australia untuk pembangunan internasional—melaksanakan peninjauan pertengahan untuk program Siaga Bencana. Ini adalah program senilai $3,15 juta selama tiga tahun di Kepulauan Mentawai dan Nias yang didanai oleh AusAID sebagai bagian dari Kemitraan Australia-Indonesia.

Tim AusAID terdiri dari Mark Travers (Manajer Senior Program Mitigasi Bencana), Mia Salim (Senior Public Affairs Officer, Kelompok AusAID Indonesia) dan Cathy Deane (konsultan independen). Dua media—Gavin Fang, koresponden TV ABC Australia di Jakarta, dan Aufrida Wismi, dari surat kabar nasional Indonesia (Kompas), juga hadir untuk meliput kegiatan tersebut. Dengan dipandu oleh Manajer Program Siaga Bencana, Jason Brown, kunjungan lapangan tersebut diatur oleh manajer Mentawai, Ray Mathias (di Mentawai) dan Asisten Manajer Program, Joseph Viandrito di Nias.

Jadwal lima hari di Mentawai dilaksanakan dengan menggunakan kapal D’bora sebagai kapal utama dan disertai dengan Sibex dari SurfAid. Perahu tradisional juga digunakan untuk mengakses desa-desa terpencil di hulu sungai. Perjalanan di seputar Nias dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda empat.

Program Siaga Bencana, yang mentargetkan 55 desa tepi pantai (22 desa di Kepulauan Mentawai dan 33 desa di Nias), dimulai pada bulan Oktober 2006 dan berfokus pada tiga tujuan:
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat
2. Membangun kapasitas masyarakat dan mengembangkan rencana yang berkelanjutan; dan
3. Mitigasi bencana. Gempa bumi terjadi secara rutin di wilayah ini, sehingga dalam program ini, masyarakat diminta untuk mengidentifikasi secara mandiri berbagai bencana alam yang mengancam mereka, berdasarkan pengalaman mereka masing-masing, dan mencakup:
• Banjir
• Tanah longsor
• Gelombang pasang
• Badai tropis dan siklon
• Kebakaran hutan
• Penyebaran penyakit

Salah satu acara dari perjalanan tersebut adalah pembukaan stasiun radio baru, Sasaraina FM di Tua Pejat, yang didanai bersama antara SurfAid dan Pemerintah Daerah Mentawai. Stasiun ini menyiarkan program-program Siaga Bencana untuk membantu masyarakat yang rentan dan terpencil jika terjadi bencana. Jaringan radio dua arah juga telah dibuat di desa Betumonga, yang rusak parah setelah dilanda dua gempa bumi berkekuatan 8,4 dan 7,9 SR pada bulan September 2007.


Wakil Bupati Mentawai, Yudas Sabaggalet, pada pembukaan dan siaran perdana stasiun radio yang baru, Radio Sasaraina, di Tuapejat yang saat ini menyiarkan program-program Siaga Bencana. Foto: Kirk Willcox/SAI

Acara lainnya dari perjalanan tersebut adalah ucapan selamat kepada para anggota Siaga Bencana masyarakat disertai dengan pembagian rompi khusus berwarna oranye sebagai penanda dari peran mereka dalam membantu teman sesama penduduk desa untuk kesiapan darurat.

“Perjalanan tersebut merupakan kesempatan yang sangat baik bagi donor kita, AusAID, untuk melihat apa yang telah dicapai oleh Program Siaga Bencana selama 18 bulan terakhir dalam hal partisipasi masyarakat dan kesiapan masyarakat terhadap bencana,” kata Manajer Program Siaga Bencana, Jason Brown. “Selain itu, dengan adanya evaluator program yang berpengalaman dalam tim ini akan memungkinkan Program Siaga Bencana mendapatkan masukan yang positif yang akan semakin memperkuat program dan meningkatkan dampaknya pada masyarakat sasaran.”

Untuk informasi lebih lanjut tentang SurfAid International, silahkan lihat website:

http://www.surfaidinternational.org/atf/cf/%7B46DF7ED0-44B1-4CD7-A9D5-2C5DE97C88E5%7D/AUSAIDEPREP.HTML

Kamis, 17 Juli 2008

Pelatihan SAR di Gunung Sinabung - Medan, 30 Mei - 3 Juni 2008

Oleh: Santonius Zai

Pelatihan SAR di Gunung Sinabung merupakan langkah awal dalam peningkatan kapasitas untuk staf SAI-Program Siaga Bencana di kepulauan Nias. Selama proses pelatihan tersebut ada banyak hal yang merupakan pengetahuan dan pengalaman baru untuk staf yang berlatih.

Peningkatan kapasitas staf yakni :
1. Penggunaan alat P3K : pembuatan tandu, cara pembidaian korban yang patah tulang.

2. Penggunaan kompas dan topografi (gambaran satu wilayah beserta garis kontur dan struktur wilayah) dalam kegiatan ini staf dibekali bagaimana cara mencari dan menyelamatkan korban yang berada dalam hutan seandainya ada laporan kehilangan orang dari masyarakat dengan menggunakan beberapa tehnik SAR.

3. Tehnik / cara mengimplementasikan Search And Rescue (SAR).
Ada beberapa tehnik yang sering digunakan untuk melakukan pencarian dan penyelamatan korban yakni :
a. Tehnik menyisir
Dalam tehnik menyisir ini, tim SAR bergerak dari satu titik awal kemudian berpencar sesuai dengan jarak yang ditentukan dan bertemu pada satu titik didepan yang telah ditentukan.
b. Tehnik blok
Dalam tehnik memblok ini , tim SAR bergerak dengan arah yang berlawanan dengan jarak yang sudah ditentukan

4. Tehnik vertical Rescue
Dalam tehnik ini, staf dibekali bagaimana memberikan pertolongan kepada korban kalau berada di tempat yang sulit untuk dijangkau seperti di jurang dan harus lewat tebing, korban berada diseberang sungai dan harus lewatkan dangan menggunakan tali yang khusus untuk SAR yang mempunyai kwalitas baik.
Dari semua tehnik ini, staf tidak hanya dibekali dengan teori tetapi langsung denga praktek dilapangan yakni : pembidaian korban patah tulang, pembuatan tandu, penggunaan kompas dan topografi, dan menyelamatkan korban yang ada dijurang dengan memanjat tebing dengan menggunakan tali.
Dari semua praktek ini, sungguh merupakan hal yang baru dan sangat bermanfaat untuk staf dalam rangka peningkatan kapasitas. Semoga pengembangan kapasitas staf ini terus dilaksanakan.

Kisah Studi Banding ke Mentawai

Oleh: Santonius Zai

Studi banding staf Program Siaga Bencana (E-Prep) Surfaid International antara Nias dan Mentawai merupakan hal yang baru terjadi dikalangan internal Program Siaga Bencana. Tepat pada tanggal 20 mei 2008 beberapa orang staf dari Nias ke Mentawai yakni : Risna, David, Santo, Toro. Dalam perjalanan studi banding tersebut ada beberapa hal yang penting dicatat sebagai pengalaman.

Para staf di kepulauan Mentawai ada 12 orang Cf. Pak Ray sebagai Field Manager, Surya dan Wawan sebagai SCf. Wilayah kerja SAI Program Siaga Bencana ada 22 dusun yakni :Pukarayah, Berkat, Sao, Mongan Bosua, Bosua, Gobik, Kateit, Silabu Utara,Silabu Timur, Silabu Tengah, Maguiruk, Betu Monga, Kirip, Badan, Maonai, Tiop, Sarausau, Malilimok, Tolomo, Bobokenen,Toulokaggon, Peipei.

Teman-teman E-Prep di Mentawai dalam pelaksanaan rapat, mereka menggunakan metode sersan (serius tapi santai). Hal ini jelas ketika adanya perbedaan pendapat diantara mereka. Mereka begitu kritis dan saling menyampaikan argument yang kadang-kadang mencapai klimaks, membuat ketegangan pada saat pertemuan, namun untuk membuat situasi dinetralisir maka FM dan Scf mengambil peran untuk memberikan input yang bisa saling diterima. Walaupun demikian, ketegangan tersebut hanya terjadi dalam ruangan pertemuan (meeting room) yang tidak dibawakan dalam pekerjaan.
Dalam rangka persiapan training

Di kepulauan Mentawai, nam keanggaotaan Program Siaga Bencana disebut TPB (Tim Penanggulangan Bencana) sedangkan untuk kepulauan Nias disebut SATLINMAS (Satuan Perlindungan Masyarakat).

Sebelum terjun kelapangan untuk melaksanakan training kepada anggota Tim Siaga Bencana, teman-teman E-Prep Mentawai terlebih dahulu membuat persiapanbaik dari segi materi, bahan/perlengkapan praktek dan juga dilaksanakan pra simulasi terutama dalam hal penyajian materi pelatihan. Dalam pra simulasi penyajian materi, masing-masing Cf menyajikan dan mempresentasikan materi yang telah dipersiapkan. Salah satu tujuan inti dari kegiatan tersebut adalah untuk mengetahui sejauh mana persiapan masing-masing cf. dalam proses tersebut cf harus siap menerima kritik dan saran yang dilontarkan oleh teman-teman lain yang bersifar membangun, sehingga kalau ada materi yang tidak tepat bisa diperbaiki sebelum terjun kelapangan.

Saat pelaksaaan training di pulau pukarayat, sebelum terjun kelapangan masing-masing staf telah mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan di lapangan. Baik untuk diri sendiri maupun untuk kebutuhan pelatihan. Untuk kebutuhan pribadi team telah mempersiapkan : pelampung, kelambu, senter, matras, autan, pisau, kompor, kecil, dan kebutuhan pribadi lainnya. Hal ini menunjukan bahwa dalam kondisi apapun dilapangan yang mereka tlah siap untuk menghadapinya. Pada saat pelaksaaan training, staff di Mentawai sungguh sangat menghargai waktu (komitmen pada waktu yang telah disepakati bersama. Setiap staf harus sudah hadir dilapangan atau ruangan pelatihan satu jam sebelum pelatihan dimulai. Tujuan yakni untuk memberikan contoh kepada masyarakat dan juga supaya masyarakat bergegas untuk datang ketempat pertemuan. Setelah kumpul dalam ruangan, mereka mempersiapkan segala kebutuhan dan juga dilaksanakan brefing singkat sebelum pelatihan.

Selama penyampaian materi pelatihan, staf yang lain siap untuk mendukung atau membantu kalau ada kelemahan dan kekurangan staf yang sedang menyaji terlebih pada pertanyaan yang disampaikan oleh peserta.
Antusias dari warga desa /TPB

Kehadiran Program Siaga Bencana dikepulauan Mentawai sungguh mendapat sambutan baik dari masyarakat. Hal ini disebabkan karena kepulauan Mentawai tersebut satu-satunya organisasi yang eksis hanyalah SurfAid International.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan :
Gaya kepemimpinan yang otoriter dan liberal, artinya Line Manager menjalankan tugas lebih didominasi oleh kehendak sendiri sehingga terkesan “kurang” memperhatikan kondisi atau keadaan bawahan.

Hal yang terjadi :
- Saran/pendapat dari bawahan kurang diperhatikan
- Dalam segala proses pelatihan terkesan tidak mempercayai staf yang sedang presentasi karena selalu disambung/menyela saat staf sedang berbicara
- Bawahan hanya mengikuti perintah dari pimpinan
- Mematikan daya kreatifitas dari bawahan.

Santonius Zai
Cf. telukdalam

Yakin, Bangga, Asyik....

Oleh: Adri Ziliwu

Aduh…….bajuku kena lumpur bro….abis jalannya becek dan berlumpur kawan…..itulah ungkapan awal pada saat kami melakukan perjalanan kedesa Harewakhe Kecamatan Afulu-Nias. Disana, jalannya masih belum diaspal, yang ada hanya pembukaan badan jalan……

Aku yakin sekali……ini sebuah perjuangan awal kita untuk mensukseskan training Satlinmas. Ini sebuah fenomena kawan…..itu harus kita hadapi dengan satu keyakinan, bahwa kita itu datang untuk masyarakat. Apapun tantangan harus kita jauhkan dari benak. Itu bisa menyemangatkan kita bekerja lebih semangat lagi apabila itu kita anggap sebagai sebuah fenomena yang menyemangatkan……ok….

Setelah kami melalui perjalanan yang cukup melelahkan, jarak dari ibukota kecamatan afulu kira-kira 12 km, namun sepanjang perjalanan, kami semua termenung dan berpikir…..apakah perjuangan ini akan berhasil ????? mampukah masyarakat mengikuti segala proses ini ??????

Tapi….aku bangga….bisa gabung kerjaan Tim Siaga Bencana SAI…..yang selalu solid dan bersama untuk berjuang demi menuju masyarakat peduli dan siaga bencana…. Hore…e…e…e…… pantainya indah sekali…………..!.!.!.!.!.!.!.!.!!!
Wah ……warna pasirnya kok merah……ombaknya lagi sangat indah………

Dibenakku terbesit………..luar biasa ciptaan yang kuasa………..walaupun perjalanan menuju pantai ini sangat melelahkan, namun setelah kami sampai di pantai “pasir merah” semuanya hilang ………. Dan bersemangat kembali
Asyik juga ya……….

Kita ngobrol disana dengan semangat yang luar biasa, kita cerita dengan diiringi deru ombak pantai yang sangat menawan…………Itulah indahnya menjadi Tim Siaga Bencana…………………

“YAAAKIIIIN, BUUUANNNGGAAA, WWUUASSSYIIIIIK”

Adri Ziliwu
Cf. Telukdalam

Perjalanan 5 Hari di Afulu

Oleh: Carlos Sozi Halawa

Desa afulu, Lauru Fadoro, Sifaoroasi, Faekhuna’a, Harewakhe, dan Ombolata Afulu merupakan daerah coveran Program Siaga Bencana sekecamatan Afulu. Pada tanggal 26 Juni 2008, Cf dari Sirombu Sozi dan Nota di utus mewakili teman-teman Sirombu untuk studi banding di kecamatan Afulu.

Dalam perjalanan, kita menggunakan transport yaitu ojek, karena didesa sekecamatan Afulu sangat susah dan bahkan tidak ada bus yang masuk kesana. Sepanjang perjalanan kita terbebani dengan adanya tantangan yaitu kondisi jalan yang aspal lumpur. Apa hendak dikata dengan adanya motto E-Prep (PSB) “YA’AHOWU” yaitu Yakin, HOangga, WUasyiik. Sehingga tantangan dan beban dapat terlepas secara tidak langsung walaupun terasa berkeringat dingin. Ha…..ha….ha…..Sozi tertawa.

Setelah kita masuk di Kecamatan afulu,kita melampaui beberapa rumah,kemudian kita mendapatkan basecamp team afulu dengan suasana yang adem. Matahari mulai terbenam, jarum jam menunjukan pukul 18.00 wib, tiba-tiba basecamp Afulu mulai gelap sehingga kita tidak dapat melihat apa-apa lagi kecuali meraba, menyentuh, mendengar dan merasakan desahan nafas teman-teman. Dalam Bahasa Nias “bologo dodomi kawa, lohadoi fandruda bada’a, ha lilin sitola taoguna’o basohagaini dododa” (maaf kawan-kawan, lampu kita nggak ada, hanya lilin ini yang dapat kita gunakan untuk menerangi kehidupan kita setiap malam).

Dengan mendengar suara dari Charis Cf Afulu, kita merasa sedih yang tidak dapat diungkapkan lagi dengan kata-kata, dibandingkan dengan team yang disirombu dan Teluk dalam, dalam hati berkata “tolo dra talifusoma andre ama”. Matahari mulai terbit dan mulai pura-pura bergerak menuju desa lauru fadoro, kemudian desa Sifaoroasi dan Faekhuna’a. dalam perjalanan menuju desa ini, kami harus melewati pantai yang…wow…indahnya…asyik bangeet coy….
Dalam perjalanan ini selama lima hari ada enaknya dan ada pahitnya dengan PROGRAM SIAGA BENCANA……semuanya enjoy and fine-fine aja…………………………………………………..

Carlos Sozi Halawa
Cf. Sirombu

Program Siaga Bencana Tiada Banding

Oleh Markus S. Zebua

Kesibukan……
Keletihan……
Kelelahan…..
Itu yang saya rasakan,saya alami,saya lalui..hidup ini bekerja untuk dibuat senang dan membuat orang lain senang. Berbagai kegiatan yang kami lakukan dan telah membuat sebuah moment yang sangat indah bersama teman-teman.
Asyiiiiik buangggaet…
Membuat orang lain senang adalah pekerjaan yang sangat rumit dan sulit dilakukan. Bersama dengan teman-teman yang lain Sadar CF Telukdalam,Toro CF Afulu, Dian CF Sirombu membuat beberapa kegiatan, menjilid buku yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman dari lapangan, membingkai foto kegiatan masyarakat. Kami membuat kegiatan tersebut di hotel Dian Otomosi Gunungsitoli, menghias, membuat berbagai pola penyusunan foto yang telah kami bingkai. Bersama dengan Asisten Program Manager, SCF Afulu Risna membuat tempat itu sebagai “Tempat Pameran Kegiatan Program Siaga Bencana”.
Sebanyak 80 lembar foto kegiatan masyarakat telah kami bingkai, 7 lembar peta bahaya desa yang dibuat oleh masyarakat dan beberapa poster yang dibuat oleh masyarakat. Sangat asyik dan menyibukan ketika suasana ruangan mulai kami hias dan pampang foto-foto kegiatan masyarakat. Berbagai pola penyusunan foto kami buat dengan menempatkan foto-foto tersebut sesuai dengan kegiatan apa yang pernah dilaksanakan oleh masyarakat. Mulai dai workshop tingkat kabupaten,tingkat kecamatan sampai pada tingkat desa, diikuti dengan assessment yang dilakukan oleh staf, community event, lomba untuk anak SD, kegiatan IDDR, sampai pada pertemuan dengan satlinmas tentang pembuatan rencana penanggulangan resiko bahaya desa.
Yakin amat bro…..
Sebuah suasana gedung yang kami jadikan sebagai tempat pameran kami sulap sedemikian indahnya, berbagai ide, pendapat kami satukan untuk memperindah tempat tersebut. Setelah selesai mempampang foto-foto tersebut dan menghias serta membersihkannya, dalam benak saya mengatakan usaha yang kami buat yang tidak masuk akal tersebut menjadi sebuah kenyataan. Saya sangat yakin usaha yang kami buat tersebut tidak sia-sia dan pasti akan membuat orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dan terhipnotis.
Bangga jadi staf Program Siaga Bencana……
Tidak pernah ada program lain seindah program siaga bencana. Tau nggak…bahwa dalam program siaga bencana tersebut berkumpul orang-orang idealis, orang-orang ilmiah dan orang-orang intelek.
Selama satu minggu kami merencanakan dan membuat kegiatan tersebut hanya untuk membuat orang lain jadi senang, yaitu untuk menyambut kedatangan evaluator Mr. Mark dan Kathy yang datang dari AusAid. Evaluator bersama Program manager Mr. Jason Brown diarahkan oleh Ass. Program Manager Mr. Joseph Viandrito masuk ke tempat pameran. Mr. Brown mengucapkan selamat pada kami dan sekaligus bangga terhadap hasil kerja dari para eksekutor lapangan. Evaluator dari AusAid orangnya sangat ramah mualai menyaksikan kegiatan-kegiatan dari masyarakat melalui foto-foto yang kami pampang didinding. Tidak ketinggalan Hazard Map yang dibuat oleh masyarakat, dan evaluator meminta agar agar hazard Map tersebut dijelaskan satu persatu. Mulai dari peta bahaya Afulu, saya menjelaskannya sesuai dengan tujuan dari masyarakat dan daerah rawan yang telah ditandai oleh masyarakat sesuai dengan symbol-simbol yang ada. Setelah foto-foto tersebut dilihat dan disaksikan oleh evaluator, kami diwawancarai oleh para evaluator yang pada intinya tentang respon masyarakat tentang kegiatan program siaga bencana dan kerjasama team.
Para evaluator setelah selesai dari gunungsitoli langsung menuju Teluk Dalam.
Saya sangat senang atas hasil kerja keras kami tersebut, dalam hati bertanya “apakah ada program lain yang lebih asyik dari Program siaga bencana ?”

Markus S. Zebua
Cf. Afulu

Rabu, 16 Juli 2008

Nias Selatan menyelenggarakan Lokakarya Kepedulian dan Kesiagaan Bencana

Oleh: Turmizi Ali

Nias Selatan, Indonesia 19 Juni 2007 – Masyarakat di Kabupaten Nias dan Nias Selatan, Indonesia, telah mengalami kesulitan oleh karena terkena tsunami 26 Desember 2004 dan gempa bumi 28 Maret 2005. Inilah peristiwa yang cukup tragis menimpa masyarakat Nias yang masih belum luput dari ingatan kita semua. Di beberapa tempat terdapat keluarga yang kehilangan anggota keluarga, sahabat, rusaknya rumah, sekolah dan masih banyak lagi bangunan-bangunan infrastruktur yang hancur. Semua itu merupakan akibat dari bencana yang dapat terjadi dimana saja.

Segera setelah kejadian tanggal 28 Maret 2005, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada, SurfAid International langsung menyalurkan program emergency response yang cukup dapat membantu masyarakat di daerah ini dengan fokus utama penyediaan respons medis darurat dan juga pendistribusian pangan serta air bersih. Bantuan yang di berikan oleh SurfAid juga menjangkau daerah yang benar-benar terpencil di Kepulauan Nias.

Setelah dua tahun berlalu yaitu pada tanggal 19 Juni, 2007, ketika SurfAid masih berlanjut degan intervensi penyaluran bantuan ke masyarakat disertai dengan usaha-usaha pemerintah, lembaga-lembaga PBB, LSM lokal maupun internasional, serta masyarakat internasional dan lokal, SurfAid berhasil menyelenggarakan workshop dengan tema Kepedulian dan Kesiagaan Bencana di Kabupaten Nias Selatan. Workshop yang sama telah di adakan di kabupaten Nias sehari sebelumnya dan juga akan dilaksanakan di Mentawai. Oleh karena daerah-daerah ini cukup rentan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami maka program kesiagaan bencana yang dilakukan secara terpadu dirasakan perlu untuk terus dikembangkan.

Ketika Workshop Berlangsung
Sasaran dari lokakarya sehari adalah sebagai wahana sosialisasi program Kesiapan Bencana, meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan institusi pemerintah agar memperoleh pemahaman yang sama dalam hal penanggulangan bencana yang berbasis masyarakat. Juga dari lokakarya inilah merupakan titik tolak agar pemerintah setempat lebih memiliki strategi menghadapi bencana untuk masa-masa yang akan datang.

Kegiatan ini buka oleh bupati Nias Selatan, dimana perwakilan dari pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakat kabupaten diberikan kesempatan untuk mendiskusikan masalah-masalah yang terjadi dalam kesiapan bencana, pengalaman-pengalaman serta langkah-langkah yang perlu diambil pada periode-periode kedepan. Bupati Nias Selatan, Fahuwusa Laia SH. MH, dalam sambutannya menyatakan bahwa pemerintah kebupaten akan mendukung sepenuhnya upaya-upaya yang dilakukan oleh program Kesiapan Bencana SurfAid International dan juga mendorong agar program-program tersebut dapat menyentuh masyarakat yang benar-benar membutuhkan utamanya masyarakat-masyarakat yang bertempat tinggal di daerah yang terpencil.

Dalam kegiatan yang berlangsung mulai dari pagi hingga sore hari, Jason Brown yang merupakan Program Manager untuk program Kesiapan Bencana Mentawai dan Nias menjelaskan gambaran program secara menyeluruh. Pada intinya adalah masyarakat sendiri mampu memiliki program kesiagan bencana yang pada gilirannya dapat memberikan manfaat yang cukup luas kepada masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang akan diiplementasikan sepatutnya selalu diselaraskan dengan kearifan dan kultur lokal, disamping itu event-event yang lebih bersifat hiburan masyarakat juga menjadi bagian dari program kesiapan bencana ini.

Fasilitator workshop mengambil kesempatan memberikan informasi tentang level bahaya bagi masyarakat pesisir Mentawai dan Nias yang cenderung rentan terhadap gempa bumi dan tsunami. Dengan adanya strategi regional yang cukup melibatkan para stakeholder pada tataran pengambil kebijakan, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan apabila semuanya telah tersinergikan secara apik. Strategi ini harus benar-benar disiapkan sehingga dapat membuat para stakeholder sadar akan tugas dan fungsinya terutama ketika telah terpolanya tindakan yang dilakukan sebelum, ketika, dan setelah terjadi bencana.

Selama berlangsungya lokakarya, seluruh peserta cukup antusias dan dinamis dalam mengeluarkan pandangan-pandangan positif bahkan beradu argumentasi demi peningkatan program. Pada akhirnya para peserta yang masih tetap energic sampai pada akhir sesi, telah berhasil membuat pesan utama dalam bahasa Nias Selatan yang intinya adalah masyarakat tidak perlu kuatir dengan bencana tetapi supaya selalu mempersiapkan diri. “Aine böi ata’u!! Tafa’anö ita!! Minahagö dödömi nasö vendruru danö!!” Demikian pesan utama yang disuarakan bersama-sama pada sesi terakhir workshop. Semoga.

Pohon Masalah Kepulauan Indah

Oleh : DAVID MATHIAS Y. HULU

Kepulauan Hinako terletak dibagian barat pulau Nias, dimana kepulauan tersebut terdiri dari 8 pulau yang diatasnya terdiri dari 12 desa dan keseluruhan desa tersebut merupakan daerah sasaran Program Siaga Bencana SurfAid International.

Pada awalnya program siaga bencana kurang berterima dibeberapa desa sasaran, bahkan ada beberapa desa yang menolak program tersebut karena masyarakat berpikiran mereka telah siap siaga mengahadapi bencana dan lagi pula program siaga bencana tidak memberikan bantuan fisik seperti yang dilakukan oleh beberapa NGO. Namun seiring berjalannya waktu, program siaga bencana dapat diterima oleh seluruh desa didaerah kepulauan, hal ini didasari oleh keingintahuan masyarakat terhadap bencana yang telah melanda seperti gempa dan tsunami.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, program siaga bencana SurfAid International semakin diterima oleh seluruh desa dan warga masyarakat di Kecamatan Sirombu, bahkan staf (Cf) sudah terbiasa dengan panggilan “pak siaga bencana” apa bila bertemu ataupun jumpa dengan masyarakat.

Pertengahan bulan Januari 2008 yang lalu, ketika Scf dan Cf berkunjung di seluruh desa kepulauan untuk melaksanakan pertemuan Satlinmas dan simulasi dibeberapa sekolah, disana terlihat dengan jelas suatu hal yang sangat memprihatinkan dimana masyarakat sangat jauh berada dibawah garis kemiskinan. Masyarakat hanya bergantung dari penghasilan kelapa dan hasil laut, dimana hasil panen kelapa sekarang ini jauh menurun dibanding hasil panen sebelum gempa melanda, menurut masyarakat hal ini disebabkan karena pohon kelapa kekurangan air akibat dari bencana gempa beberapa waktu lalu. Masyarakat juga sangat kekurangan sumber air bersih, masyarakat hanya bergantung dari sumur bor yang sewaktu-waktu dapat kering bila musim kemarau.

Lebih memprihatinkan lagi dimana dibeberapa pulau hanya berada 4-5 keluarga yang menetap didesa tersebut. Hal ini dikarenakan kurangnya mata pencaharian. Dari segi pendidikan juga memprihatinkan sekolah hanya dihuni oleh 20an orang siswa. Dari segi mitigasi bencana, masyarakat kepulauan tidak memiliki lokasi evakuasi yang layak karena dikepulauan tidak adanya dataran tinggi. Dataran tinggi hanya terletk didesa hinako. Namun sangat sulit dijangkau oleh desa lain karena transportasi laut yang sangat terbatas apa bila terjadi bencana Tsunami. Namun terdapat juga desa (desa Bawösalo’o) yang berinisiatif membuat rumah diatas pohon yang dapat menampung ± 100 orang, rumah ini dibuat sebagai tempat pengungsian apabila terjadi tsunami. Namun kondisi rumah tersebut sekarang ini rusak parah karena masyarakat banyak yang telah meninggalkan desa tersebut.

Sungguh suatu masalah yang sangat besar apa bila keadaan masyarakat dibiarkan begitu saja. Kepulauan yang indah pada akhirnya hanya kenangan belaka, tanpa penghuni, tanpa sumber daya manusia yang dapat diandalkan.
Siapakah yang dapat menjawab semua permasalahan tersebut? Apakah program siaga bencana Surfaid International? Jawaban dari semua masalah tersebut terletak dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat jangan terus mengaharapkan bantuan dari dunia luar, karena dapat membuat masyarakat malas untuk bekerja hanya karena bantuan yang hanya sesaat. Apa bila masyarakat memiliki kesadaran, memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia dan saling bergotongroyong, maka semua permasalahan tersebut dapat teratasi.

” AINE TAFAOHE TANGA WANGEHAOGŐ BANUADA AFU SŐKHI WA’AURI DA ”

Antusiasme Masyarakat dalam Kegiatan Siaga Bencana

Oleh SANADI

Bencana!!! Kata ini terasa ringan dan mudah kita ucapkan, namun kata ini mengingatkan kita pada kejadian pada tanggal 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005 yang menimpa propinsi Nanggro Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Kedua kejadian ini tak lain adalah terjadinya gempa bumi dan tsunami yang telah banyak menghancurkan bangunan, sarana dan prasarana umum, berbagai dokumen penting dan menghilangkan ratusan ribu nyawa manusia serta menyebabkan lumpuhnya perekonomian. Banyak istri kehilangan suami, banyak suami kehilangan istri, banyak orang tua kelihangan anak dan ribuan anak kehilangan orang tua. Banyak orang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian dan kehilangan harta benda. Kejadian ini sudah seharusnya menjadi pelajaran buat kita semua untuk selalu “SIAGA BENCANA”.

Di barat Pulau Nias merupakan garis pertemuan lempang Eurasia dan Australia yang selalu bergerak kuranng lebih 7 cm setiap tahunya sehingga suatu saat akan terjadi tumbukan antar lempeng yang bisa mengakibatkan gempa bumi bahkan mungkin bisa mengakibatkan tsunami. Ciri-ciri gempa yang berpotensi terjadi tsunami adalah gempa sangat besar yang ditandai dengan gempa berlangsung lebih dari satu menit, banyak tiang/struktur bangunan rusak dan orang tidak bisa berdiri tegak. Dari alasan tersebut patutlah bila kita akan selalu “SIAGA BENCANA”.

Program siaga bencana sekarang sedang laksanakan oleh SurfAid International di Kepulauan Mentawai dan Pulau Nias yang berbasis masyarakat (Program siaga bencana berbasis masyarakat). Dalam pelaksanaannya SurfAid bekerja sama dengan pemerintah dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan dan pemerintahan desa. Di Nias program ini sudah dimulai sejak bulan Mei 2007 yang diawali dengan kegiatan pengumpulan data dan dilanjutkan dengan sosialisasi tingkat kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat desa. Di Pulau Nias program ini dijalankan di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Teluk Dalam, Afulu dan Sirombu dengan jumlah desa sasaran sebanyak 33 desa. Desa sasaran diprioritaskan desa yang berdekatan dengan pantai karena dimungkinkan rawan dengan bencana tsunami.

Dalam uraian ini penulis memfokuskan kegiatan siaga bencana di Kecamatan Sirombu. Kecamatan Sirombu merupakan salah satu kecamatan di bagian barat Pulau Nias yang berjarak sekitar 65 KM dari pusat kota kabupaten. Kecamatan Sirombu terletak dipesisir pulau Nias (Sirombu daratan) dan wilayah kepulauan kecil yaitu kepulauan Hinako atau biasa orang menyebut Pulau 8 (Sirombu pulau). Kepulauan Hinako terdiri dari 8 pulau dan dibagi menjadi 12 desa. Kondisi geografi kepupaluan ini merupakan dataran yang banyak ditumbuhi pohon kelapa yang merupakan salah satu sumber penghasilan masyarakat setempat. Di kepulauan ini hanya terdapat satu gunung (dataran tinggi/bukit) yaitu di pulau Hinako. Sedangkan pulau-pulau yang lain hanya dataran rendah yang banyak ditumbuhi pohon kelapa yang merupakan salah satu sumber penghasilan masyarakat setempat. Sebagian besar masyarakat mempunyai mata pencaharian petani perkebunan kelapa dan nelayan. Alat transportasi yang menghubungkan Sirombu daratan dan Sirombu Pulau adalah satu buah kapal kayu yang setiap harinya hanya bisa melayani penumpang satu kali trip.

Program siaga bencana merupakan program yang dilaksanakan untuk membantu masyarakat dalam persiapan menghadapi kemungkinan terjadinya bencana dimasa yang akan datang. Program ini dalaksanakan dan dikembangkan bersama masyarakat karena diharapkan masyarakat sendiri yang lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi resiko bencana serta dapat melakukan tindakan-tindakan penyelamatan apabila terjadi bencana dan penanganan setelah terjadi bencana.

Untuk mencapai tujuan tersebut, program siaga bencana berbasis masyarakat di Kecamatan Sirombu telah melakukan berbagai kegiatan yaitu:

1. Pengumpulan data melalui KAP Survey dan CCR. Pengumpulan data ini dilakukan dengan wawancara dengan sebagian masyarakat yang dipilih secara acak yang bertujuan untuk memberi gambaran umum pengetahuan masyarakat tentang kebencanaan dan potensi desa.

2. Sosialisasi tingkat kecamatan. Sosialisasi ini dilaksanakan pada tanggal 19 Juli 2007 yang dihadiri personil Unit Operasional Penanganan Bencana (UOPB), Kepala desa dan sekertaris desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama.

3. Sosialisasi tingkat desa. Sosialisasi ini dilaksanakan mulai tanggal 25 Juli 2007 dan berakhir tanggal 01 September 2007 yang bertujuan memberikan informasi kebencanaan dan program-program SurfAid yang akan dilasanakan kedepan. Peserta sosialisasi ini sebanyak 40-50 orang. Perwakilan ini terdiri dari aparat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, wakil pemuda dan tim penggerak PKK. Kegiatan ini juga membentuk tim Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinamas) yang merupakan tim penanganan bencana ditingkat desa yang akan di berikan SK dari kecamatan setaempat. Satlinmas ini dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat dalam penanganan bencana mulai dari persiapan menghadapi bencana sampai pelaksanaannya kelak apabila terjadi bencana.

4. Lomba siaga bencana tingkat kecamatan. Lomba yang diadakan adalah lomba Gapura siaga bencana, papan informasi siaga bencana, poster siaga bencana dan yel-yel siaga bencana yang diikuti oleh 17 desa sasaran. Lomba ini merupakan salah satu media kampanye siaga bencana. Disamping itu dengan adanya lomba ini merupakan ajang kebersamaan dan gotong royong dari masyarakat. Lomba ini sangat diminati masyarakat karena masing-masing desa dapat menunjukkan kemampuannya terhadap desa yang lain, menang lomba merupakan kebanggaan tersendiri. Dalam penilaian tim juri dipilih dari perwakilan Kecamatan, Polsek, Koramil, Dinas Pendidikan kecamatan dan staf SurfAid.

5. Perayaan masyarakat. Aacara ini merupakan kampanye siaga bencana karena banyak masyarakat berkumpul dan merupakan pentas seni dari masyarakat. dalam acara ini dihadiri masyarakat tidak kurang dari 750 orang laki-laki dan perempuan yang berasal dari 17 desa. Atraksi banyak ditampilkan masyarakat diantaranya solo vocal, vocal group dan atraksi khas Nias yaitu maena. Dalam acara ini juga dibagikan tropi pemenang lomba dan diadakan lomba tenda yang dipusatkan di halaman kecamatan Sirombu. Tempat ini juga sebagai tempat evakuasi pada waktu terjadi bencana tsunami tanggal 26 Desember 2007 sehingga kegiatan ini juga untuk mengenang dan mengingatkan terjadinya bencana tsunami.

6. Simulasi siaga bencana berbasis sekolah dan distribusi komik siaga bencana pada anak sekolah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membekali pengetahuan kebencanaan pada murid dan guru. Kegiatan ini sangat diminati oleh murid dan guru karena dapat menambah pengetahuan kebencanaan yang tidak ada dalam kurikulum sekolah.
7. Penyebaran media informasi kebencanaan yang dipasang di papan informasi siaga bencana.
8. Distribusi bulletin siaga bencana. Distribusi ini diberikan pada masyarakat desa, sekolah, kecamatan dan dinas pendidikan.

Dari berbagai kegiatan tersebut dalam pelaksanaannya terlihat antusias masyarakat. Antusias ini juga terlihat pada kegiatan sosialisasi terutama sosialisasi tingkat desa. Dalam sosialisasi ini banyak masyarakat menanyakan bagaimana cara mengurangi dampak dan penyalamatan apabila terjadi bencana. Keinginan masyarakat seperti setiap rumah harus memiliki pelampung, tempat evakuasi khususnya pulau yang tidak ada gunung, juga keinginkan setiap informasi bencana harus segera disebarluaskan. Selain itu juga banyak pertanyaan bagaimana terjadinya gempa dan tsunami, bagaimana lempeng bisa bergerak. Pertanyaan yang tidak kalah penting adalah bagaimana cara penanganan rawan bencana didesa, seperti tsunami, banjir dan pembrantasan nyamuk.

Pada suatu ketika di kedai kecil kami mengobrol dengan seseorang. Orang ini sungguh sangat setuju dan mendukung program siaga bencana bahkan bercerita tentang bahan-bahan yang bisa dipakai untuk penyelamatan. Seperti batang pisang bisa dipakai sebagai rakit pada saat terjadi banjir. Pohon pisang sebagai rakit sementara lebih bagus disbanding dengan menggunakan bambu karena batang pisang sulit untuk tenggelam. Pohon pisang lebih mudah dapat dan ditanam serta mudah tumbuh dimana-mana. Penanaman pohon pisang mendapatkan dua keuntungan yaitu dapat menghasilkan buah dan batangnya dapat dimanfaatkan sebagai pengganti rakit sementara. Oleh karena itu mari kita tanam pohon pisang didekat rumah dan disekitar lokasi evakuasi yang telah ditentukan untuk persiapan dan siaga bencana.

Keinginan dan kemauan serta perilaku masyarakat untuk siaga bencana merupakan kunci utama dan akan banyak memberi dampak/manfaat bagi basyarakat, karena program ini merupakan program yang semestinya dari, oleh dan untuk masyarakat sendiri. Ingat!!! Bencana bisa datang kapan saja, mari tetap “SIAGA BENCANA”.

Sanadi
SCF Kec. Sirombu
SurfAid International

Banjir yang Meresahkan di Ombolata

Oleh Rudy Hia

Hujan kembali mengguyur desa Ombolata,desa yang indah dan penuh kedamaian. Hujan merupakan salah satu rahmat Tuhan tapi kalau hujan itu turun terus menerus dengan sangat lebatnya, maka rahmat yang tadi akan berubah menjadi bencana berupa banjir,banjir yang sangat meresahkan masyarakat.
Suatu hari saya dengan teman sekerja saya Purnama pergi mengunjungi salah satu rumah warga di desa Ombolata, salah satu aparat di desa ombolata tersebut. saat itu cuaca memang tidak sedang mendukung, awan hitam yang sedang menyelimuti bumi dan menyembunyikan pancaran sinar matahari yang indah menyentuh bumi. Saat kami tiba di rumah, beliaupun langsung menyambut kami dengan sangat ramahnya, sungguh awal yang sangat baik ( aku berkata dalam hati ), bukan desanya aja yang indah tapi keindahan itupun terpancar dari keramahtamahan warga di sana.
Kamipun mulai bercerita-cerita tentang keadaan desa ombolata, desa yang banyak warganya menggantungkan hidupnya pada sawah dan ladang mereka, hanya sebagian warga saja yang bekerja sebagai Pegawa Negeri Sipil. Saat kami lagi asik dengan cerita mengenai keadaan desa, beliaupun teringat dan menuturkan keresahan warga desanya yang selalu menghantui mereka jika cuaca mendung ini akan berubah menjadi hujan yang sangat lebat, kamipun sempat terdiam saat mendengar penuturan dari beliau, namun belum sempat beliau melanjutkan ceritanya, kamipun disuguhi dengan secangkir teh hangat dari isteri beliau.
Tidak puas dengan cerita beliau, kamipun memintanya untuk dapat melanjutkan ceritanya, dan beliaupun mulai melanjutkan kembali ceritanya, memang benar katanya jika hujan turun terus menerus selama dua jam saja maka bencana banjirpun akan datang dan ketinggian air bisa mencapai lutut, itu baru dua jam apalagi kalau seharian, sungguh tidak bisa dibayangkan.
Mendengar itu kamipun sangat prihatin akan kejadian itu, kejadian yang sungguh sangat meresahkan masyarakat.
Mendengar cerita ini kamipun teringat bahwa begitu pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. AYO KITA SIAGA.

Böi Amawa Banio Ba Hinako

Böi Amawa Banio Ba Hinako
Oleh : APRIEL ZAI
(Fasilitator Masyarakat Program Siaga Bencana SurfAid International - Sirombu)

Ada satu hal yang sangat terkenal ketika kita berbicara mengenai Kepulauan Hinako. Jawabannya yaitu Kelapa. Ya...hal ini benar adanya. Kepulauan Hinako sering diidentikan dengan Kelapa. Hal ini dikarenakan hampir seluruh wilayah di kepulauan Hinako dipenuhi oleh pohon kelapa. Pada tahun 1970an – 1980an, Kepulauan Hinako merupakan daerah penghasil kopra terbesar di Pulau Nias. Kopra adalah kelapa cungkil yang merupakan hasil bumi utama di Kepulauan Hinako sampai saat ini. Pada masa itu, produksi kopra di Kepulauan Hinako bisa mencapai ratusan bahkan ribuan ton per musim panen. Sampai ada suatu pepatah atau istilah yang sering disebutkan orang yaitu “Böi Amawa Banio Ba Hinako” yang artinya “Jangan Menjual Kelapa Di Hinako”...mengapa? Ya tentu saja di Hinako tidak ada yang akan membelinya 

Walaupun hampir keseluruhan pengahasilan masyarakat Kepulauan Hinako bersumber dari kelapa/kopra, namun ada satu hal yang sangat aneh. Masyarakat Kepulauan Hinako sendiri, banyak yang tidak bisa memanjat pohon kelapa. Perlu juga kita ketahui bahwa pohon kelapa di Kepulauan Hinako tingginya berkisar 10 meter sampai dengan 20 meter, atau bahkan bisa lebih. Akibatnya, untuk memanen dan merawat pohon kelapa, masyarakat Kepulauan Hinako memperkerjakan orang lain untuk melaksanakan tugas itu. Kebanyakan para pekerja tersebut berasal dari daerah Lölöwau dan Mandrehe. Tentunya para pekerja ini harus terampil dalam memanjat pohon kelapa. Sebagai bayaran untuk pekerja-pekerja tersebut, biasanya dengan sistem bagi hasil panen. Besarnya ada yang mencapai 50% :50%, maksudnya, hasil panen dari kopra tersebut 50% akan menjadi bagian dari pemilik kebun kelapa, dan sisanya menjadi hak pekerja tersebut. Tetapi ada juga yang menerapakan pembagian hasil dengan jumlah yang berbeda, tergantung dari kesepakatan bersama antara pemilik kebun dengan pekerja.

Saat ini produksi kelapa/kopra di Kepulauan Hinako mengalami penurunan yang besar. Produksi kopra kadang hanya mencapai 5 ton per sekali panen. Ada banyak hal yang menyebabkan hal ini. Salah satu penyebabnya adalah musim kekeringan yang terjadi dimana sumber air sangat sulit ditemukan. Hal ini dipengaruhi oleh gempa bumi yang terjadi di Kepulauan Nias tanggal 28 Maret 2005 yang menyebabkan sebagian besar wilayah Hinako terangkat sekitar 2 meter diatas permukaan laut. Akibatnya sumber air tanah semakin dalam dan semakin susah mendapatkannya.

Penyebab lain adalah dikarenakan tidak adanya peremajaan pohon kelapa. Pohon kelapa yang ada di Kepulauan Hinako saat ini telah berusia puluhan tahun, bahkan mungkin ada yang mencapai 100 tahun. Semakin tua usia pohon kelapa tersebut, maka produktivitas dari pohon itu pun semakin menurun. Penyebab lain dari menurunnya produksi kelapa/kopra di Kepulauan Hinako dari informasi yang didapatkan oleh penulis dari masyarakat Hinako adalah adanya sejenis kumbang yang hinggap dan tinggal di daun-daun kelapa dan menjadikan daun tersebut sebagai bahan makanannya. Akibatnya pertumbuhan kelapa menjadi terhambat. Namun penulis berpikir penyebab yang terakhir ini perlu di teliti lebih lanjut lagi.

Sekarang yang menjadi bahan pemikiran bagi kita bersama adalah bagaimana mengatasi masalah-masalah tersebut. Sehingga pada akhirnya diharapkan produksi kelapa/kopra di kepulauan Hinako kembali meningkat dan pendapatan masyarakat pun bisa bertambah.

Pelatihan Siaga Bencana di Nias

”AKU DATANG UNTUK MELAYANI, BUKAN UNTUK DILAYANI...”

Kalimat pada judul dalam kisah ini bukan merupakan sebuah kalimat belaka melainkan prinsip yang dipegang oleh Tim Siaga Bencana SurfAid International (SAI) untuk berbagi pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki untuk diberikan kepada kelompok SATLINMAS dan CARE GROUP. Dan untuk selanjutnya SATLINMAS dan CARE GROUP dapat mengembangkan semangat ”MELAYANI” untuk Siaga Bencana dengan secara relawan kepada masyarakat yang ada di desanya masing-masing.

Tim Siaga Bencana SAI merupakan gabungan dari staff Program Siaga Bencana yang berada dari semua penjuru mulai dari base Afulu, Sirombu bahkan antar lintas sektoral kabupaten yakni dari base Teluk Dalam. Kehadiran Tim Siaga Bencana turun kedesa untuk memberikan pelatihan kepada SATLINMAS dan CARE GROUP di 33 desa wilayah kerja SAI Program Siaga Bencana. Pelatihan di Kecamatan Afulu dimulai tanggal 15 – 24 Juni 2008, di Kecamatan Sirombu dimulai tanggal 28 Juni – 17 Juli 2008 sedangkan di Kecamatan dimulai tanggal 21 Juli – 29 Juli 2008.

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita adalah Apa saja yang diberikan oleh Tim Siaga Bencana kepada SATLINMAS dan CARE GROUP ??

Jawaban pasti dan tidak salah adalah :

1. Kelompok 1 pelatihan tentang keterampilan Regu P3K, Tandu dan Caraka
2. Kelompok 2 pelatihan tentang keterampilan Regu SAR, Deteksi Dini dan Pionir
3. Kelompok 3 pelatihan tentang keterampilan Regu Keamanan, Pemadam Kebakaran, dan Evakuasi
4. Kelompok 4 pelatihan tentang Regu Dapur Umum dan Perlindungan Anak (khusus untuk Teluk Dalam)

Jenis-jenis pelatihan tersebut merupakan hal yang penting dan utama untuk segera diketahui oleh team SATLINMAS dan CARE GROUP sebelum terjadinya bencana. Dalam pelatihan ini-pun alat-alat yang digunakan sangat sederhana dan peralatan yang ada masih bisa ditemukan di sekeliling kehidupan masyarakat di pedesaan bahkan disaat situasi dalam keadaan krisis bencana. Alat-alat tersebut adalah kentongan dari bambu, bambu untuk membuat tandu, sarung, kursi atau pintu, dan lain-lain.

Apa yang menjadi tujuan dari pelatihan ini ?

Hanya ada 3 point dan tidak akan terlupakan kalau kita melandasi semangat untuk Melayani dalam Cinta dan Kebersamaan :

• SIAPKAN DIRI UNTUK SIAGA BENCANA MULAI SAAT INI dan TIDAK PERLU MENUNGGU HARI ESOK !!!!

• Sebuah pelayanan tidak akan berakhir kalau kita tidak mengakhiri, jadi jangan diakhiri sebelum kita SIAGA terhadap BENCANA !!!

• Semakin banyak masyarakat yang SIAGA maka semakin banyak masyarakat akan TERSELAMATKAN dari BENCANA !!!

(Monica Supriyati)

Mengenal Program Siaga Bencana di Nias dan Mentawai

Community Based Disaster Preparedness for Western Sumatera Islands
SurfAid International is implementing a three-year Community Based Disaster Management and Risk Reduction initiative funded by AusAID (Australian Agency for International Development) to develop effective disaster preparedness and management systems for the western islands of Sumatra.

The Community Based Disaster Preparedness for Sumatra Western Islands Program is designed primarily to work together with and strengthen disaster management and preparedness capacity for 53 target villages – 31 target villages in Nias Island, North Sumatra and 22 target villages in the Mentawai Islands, West Sumatra. The direct beneficiaries of the project are approximately 35,000 people from the 53 villages which are spread over eight sub-districts (kecamatan). The indirect beneficiaries are the households in neighbouring villages who will have opportunities to better prepare their communities via transfer of knowledge and cross-utilisation of resilience mechanisms. Many of the total population of 770,000 in Nias and Mentawai will benefit from a community awareness campaign that will include radio and other multimedia educational materials such as print, film and community celebration activities.

Capacity building of sub-district and district disaster management institutions will assist in providing long-term sustainable disaster management support to all villages both directly and indirectly linked to the program. The program has been designed to create ownership of initiatives and activities at the village, sub-district and district levels. Strategic workshops and meetings will facilitate access by the target communities to district planning processes. An exit strategy has been designed to enable follow-up to key program outcomes as well as unintended impact by identified stakeholders (duty bearers).

The program will be implemented over a three year period. The initial six–month program inception phase (October 2006-April 2007) allowed for the assembly of human and non-human resources, development of a detailed implementation plan and identification of vulnerable communities, development of a public information strategy, and program socialization with the relevant authorities in the initial target provinces and districts. A key activity associated with this inception phase was a series of workshops at the target district level to present the program and invite discussion and feedback from stakeholders.

The program has three major components: 1) Community awareness and education campaign; 2) Community contingency planning and community based disaster management training; and 3) Community based disaster mitigation and risk reduction activities.

WHY DISASTER PREPAREDNESS IS NEEDED IN NIAS & MENTAWAI ISLANDS?
Sumatra is an active continental margin where tectonic processes are controlled by the three major fault systems of the Sunda Trench, the Sumatran Fault and the Mentawai Fault (John Milsom, University College London, UK). The Island groups of the Western Islands have been formed by the subduction of the oceanic plate under the continental plate in an ongoing process. There is Palaeoseismic evidence of large recurrent earthquakes and tsunamis. Caltech and LIPI research shows signs of elevation of parts of the archipelago in 1600, 1797 and 1833 due to massive earthquakes, with eventual receding to their original state. The most recent earthquake has thrust parts of the archipelago up by up to 2 metres – raising reef above current high tide mark. Other areas have fallen by up to 1 metre, such as occurred in parts of the Banyaks (Norman Vant Hoff, field report, July 2005).
The aftershock pattern observable after big seismic events suggests the following probability of more large earthquakes in the Western Islands during the next two years: A 12.5% chance of another magnitude 8 earthquake. A 33.3% chance of a magnitude 7.5 earthquake. (Lucy Jones, U.S. Geological Survey, April 11, 2005). There are many locations along the Mentawai fault which are located in a depth of water sufficient to generate an associated tsunami. Communities are vulnerable not just to earthquakes and tsunami disasters but a range of other natural disasters including landslides, flooding and epidemics. The likelihood of another major natural disaster in the Western Islands of Sumatra, combined with the ongoing vulnerability of much of the population, suggests a need for both enhanced community disaster preparedness and risk reduction strategies.
Community based disaster preparedness provides an opportunity to work together with local communities on structured plans, in association with the dissemination of clear information about the current levels of risk. It provides a chance to review traditional knowledge and draw upon local resources and wisdom. Working in conjunction with the district and regional authorities will ensure that preparedness plans feed properly into government disaster planning processes and support their roles. Compromised ecosystems are more heavily impacted by disasters than those that are under sustainable environmental management regimes (UNEP, 2005).

SurfAid was created in 1999 to respond to the needs of the communities in the Mentawai Islands in a professional, transparent and community-empowering way. The disaster response capacity of SurfAid has been proven through the two most recent disasters in the region – 2004 Indian Ocean tsunamis and 2005 Nias earthquake. Experience gained through these emergency responses can be transferred into operating procedures and logistical knowledge. Knowledge and operating capacity in the geo-marine environment, and established relationships with communities and the governments, places SurfAid in a unique position to implement a community disaster preparedness program.